Thursday, June 25, 2015

Membaca Al Fatihah Dalam Shalat (2)

Kapan Al Fatihah Dibaca?
Telah dibahas pada tulisan sebelumnya, khilaf ulama mengenai hukum membaca Al Fatihah bagi makmum. Dan yang kami pandang rajih adalah yang dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu makmum wajib membacanya dalam shalat sirriyyah1 dan tidak wajib membaca Al Fatihah dalam shalat jahriyyah2 ketika imam membacanya. Namun bagi yang berpegang pada pendapat wajibnya membaca Al Fatihah pada shalat jahriyah secara mutlak, ada pertanyaan baru: kapan Al Fatihah dibaca?
Seorang makmum wajib mengikuti imam, tidak boleh mendahului atau menyamai imam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنما جُعِلَ الإمامُ لِيُؤْتَمَّ به، فإذا كَبَّرَ فكَبِّروا ، وإذا ركَعَ فاركعوا ، وإذا سجَدَ فاسجدوا ، وإن صلى قائمًا فصلوا قيامًا
“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti. Jika imam bertakbir maka bertakbirlah, jika ia ruku, maka rukuklah. jika ia sujud maka sujudlah jika ia shalat sambil berdiri maka shalatlah sambil berdiri” (HR. Al Bukhari 378, Muslim 411).
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “dan dalam hadits ini ada kewajiban bagi makmum untuk mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk rukuk, sujud. Dan itu dilakukan oleh makmum setelah imam melakukannya. Maka makmum ber-takbiratul ihram setelah imam selesai takbiratul ihram. Jika itu dilakukan sebelum imam selesai maka tidak benar shalatnya. Dan makmum rukuk setelah imam rukuk sempurna dan sebelum imam bangkit dari rukuk. Jika makmum menyamai imam, atau mendahuluinya, maka menjadi jelek shalatnya, namun tidak sampai batal” (Syarah Shahih Muslim, 4/132).
Dengan demikian, bagi yang berpendapat wajibnya makmum membaca Al Fatihah, hendaknya tidak membacanya bersamaan dengan bacaan imam atau malah mendahului imam. Dalam hal ini para ulama memberikan beberapa beberapa alternatif:
Jika ada saktah (jeda antara bacaan ayat) dalam bacaan Al Fatihah imam, maka ketika itu makmum membaca Al Fatihah. Misal, jika antara alhamdulillahirabbil ‘alamin dan ar rahmanirrahim ada saktah, maka ketika itu makmum membaca alhamdulillahirabbil ‘alamin.
Jika ada saktah dalam bacaan ayat Al Qur’an imam (setelah amin), maka ketika itu makmum membaca Al Fatihah. Alternatif pertama dan kedua ini afdhal, karena tetap mengamalkan dalil yang memerintahkan makmum mendengarkan bacaan imam.
Jika dua alternatif di atas tidak memungkinkan maka makmum boleh membaca Al Fatihah ketika imam sedang membaca ayat Al Qur’an (setelah amin).
Jika tiga alternatif di atas tidak memungkinkan juga maka makmum boleh membaca Al Fatihah bersamaan dengan imam.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “jika anda menjadi makmum, maka disyariatkan membacanya secara langsung setelah imam membaca Al Fatihah. Maka bacalah Al Fatihah walaupun ketika itu imam sedang membaca. Dan terkadang itu memang menimbulkan kesulitan karena anda membaca sementara imam juga membaca. Lebih lagi jika imam membacanya dengan menggunakan pengeras suara. Namun kami katakan, lalui saja dan bersabarlah, karena barangsiapa yang bersabar ia akan menang” (Majmu Fatawa War Rasail, 13/128).
Lalu bagaimana dengan makmum masbuq, yang mendapati imam sudah rukuk atau sudah akan rukuk? Apakah ia tetap membaca Al Fatihah? Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, “masbuq jika ia masuk ke dalam shalat ketika imam sudah rukuk, atau sebelum rukuk namun tidak memungkinkan lagi untuk membaca Al Fatihah, maka dalam keadaan ini kewajiban membaca Al Fatihah gugur darinya” (Majmu Fatawa War Rasail, 13/128).
Disambung atau dipotong?
Al Fatihah dianjurkan dibaca dengan berhenti setiap ayatnya, namun jika disambung juga tidak mengapa. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, “Al Fatihah dibaca secara mu’rab, berurutan, dan bersambung. Dan dianjurkan untuk memisahkan antara ayat, sehingga yang membaca akan berhenti 7 kali. Alhamdulillahirabbil ‘alaimin. Berhenti. Ar rahmanirrahim. Berhenti. Maliki yaumiddin. Berhenti. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Berhenti. Ihdinas shiratal mustaqim. Berhenti. Shiratalladzina an’amta ‘alaihim. Berhenti. Ghairil maghdhubi’alaihim waladhaallin. Berhenti. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membacanya dengan memotong ayat-demi-ayat, beliau berhenti setiap satu ayat. Namun jika tidak berhenti pun tidak mengapa. Karena membaca dengan memotong-motong ayat tersebut hanya anjuran, tidak diwajibkan” (Syarhul Mumthi, 3/65).
Orang Yang Tidak Bisa Membaca Al Fatihah
Orang yang tidak bisa membaca Al Fatihah karena baru masuk Islam atau karena belum pernah diajari, maka wajib diajari dan wajib baginya untuk belajar. Karena Al Fatihah merupakan rukun shalat. Adapun sementara ia belum bisa membacanya, maka bisa diganti dengan ayat Al Qur’an yang lain yang bisa ia baca. Sebagaimana hadits al musi-u shalatuhu, yaitu kepada orang yang jelek shalatnya karena belum tahu cara shalat, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا قمتَ إلى الصلاةِ فكَبِّرْ ، ثم اقرأْ ما تيسَّرَ معكَ من القرآنِ
“jika engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah apa yang engkau bisa dari ayat Al Qur’an..” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397)
Kemudian jika seseorang sama sekali belum bisa membaca Al Qur’an, maka cukup membaca tasbih, tahmid, tahlil dan hauqalah untuk menggantikan Al Fatihah. Hal ini berdasarkan hadits dari sahabat Ibnu Abi Aufa radhiallahu’anhu:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ فَعَلِّمْنِي شَيْئًا يُجْزِئُنِي مِنَ الْقُرْآنِ. فَقَالَ: ” قُلْ: سُبْحَانَ اللَّهُ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ “
“seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kemudian berkata: ‘saya tidak bisa membaca sedikitpun dari ayat Al Qur’an maka ajarkanlah saya sesuatu yang dapat mencukupinya’. Nabi bersabda: ‘katakanlah subhanallah, walhamdulillah, wa laailaha illallah, wallahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illa billah‘” (HR. Al Hakim 123, An Nasa-i 923, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, “wajib mengajarkan orang yang demikian surat Al Fatihah ini. Jika waktunya sempit, maka ia boleh membaca ayat apa saja selain Al Fatihah yang ia bisa dari Al Qur’an. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘bacalah apa yang engkau bisa dari ayat Al Qur’an‘. Jika ia tidak memungkinkan membaca Al Qur’an, maka ia boleh bertasbih dengan mengucapkan subhanallah, walhamdulillah, wa laailaha illallah, wallahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illa billah” (Syarhul Mumthi‘, 3/69-70).
Jika Imam Tidak Fasih Membaca Al Fatihah
Di beberapa masjid terutama di daerah pedesaan seringkali ditemukan imam masjid yang tidak fasih dalam membaca Al Qur’an. Tentu saja ini menjadi masalah karena Al Fatihah adalah rukun shalat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya terkait hal ini, “apakah orang yang bacaan Al Fatihahnya terdapat lahn (kesalahan) sah shalatnya ataukah tidak?”. Beliau menjawab: “jika lahn dalam membaca Al Fatihah itu tidak sampai mengubah makna maka sah shalatnya, baik ia imam atau munfarid. Semisal ia mengucapkan rabbil ‘alamin wadhallin atau semisalnya. Adapun bacaan semisal alhamdulillahi rabbul ‘alamin atau alhamdulillahi rabbal ‘alamin atau alhamdulullah dan alhamdilillah dengan lam di dhammah atau dal di-kasrah, atau juga ‘alaihim atau ‘alaihum atau semisal itu, ini semua tidak dianggap sebagai lahn. Adapun lahn yang mengubah makna, jika yang mengucapkan paham maknanya, semisal ia mengucapkan shiratalladzina an’amtu ‘alaihim dan ia paham bahwa dhamir di sini adalah mutakallim, maka tidak sah shalatnya. Jika ia tidak paham maknanya dan ia merasa bahwa dhamir-nya mukhathab maka ada khilaf mengenai keabsahan shalatnya. Wallahu a’lam”. (Al Fatawa Al Kubra, 2/185).
Al Lajnah Ad Daimah mengatakan: “jika anda ingin shalat, maka pilihlah imam yang bagus bacaannya. Jika anda tahu imam anda tidak bagus bacaannya, yaitu ia membacanya dengan lahn yang mengubah makna, semisal iyyaki na’budu dengan kaf di-kasrah atau an’amtu dengan ta ‘di dhammah atau di-kasrah, maka tidak boleh bermakmum padanya. Wajib bagi anda untuk memperingatkan dia, jika ia menerima alhamdulillah. Jika tidak, maka usahakan dengan sedemikian rupa agar ia diganti dengan imam yang lebih baik” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah no.3193).
Hukum Ta’min
Ta’min yang dimaksud di sini adalah pengucapan “amin” setelah membaca Al Fatihah. “Amin” artinya “ya Allah kabulkanlah”. “Amin” ada dua bentuk, qashr (dibaca pendek) dan mad (dibaca panjang). Ibnu Manzhur menjelaskan:
وآمينَ وأَمينَ: كلمةٌ تقال في إثْرِ الدُّعاء؛ قال الفارسي: هي جملةٌ مركَّبة من فعلٍ واسم، معناه اللهم اسْتَّجِبْ لي

aamiin (dibaca panjang) dan amiin (dibaca pendek) adalah kata yang diucapkan di ujung doa. Al Farisi berkata, ia adalah kalimat yang tersusun atas fi’il dan isim, artinya ‘ya Allah kabulkanlah untukku’ (Lisanul ‘Arab).
Tidak ada khilaf diantara para fuqaha bahwa dalam shalat sirriyyah membaca “amin” hukumnya sunnah, baik bagi munfarid, imam maupun makmum (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 16/184). Adapun dalam shalat jahriyah, ketika imam mengeraskan bacaan Al Fatihah, ulama khilaf mengenai hukum membaca “amin” :
Pendapat pertama, hukumnya sunnah bagi imam, makmum dan munfarid. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah, Hanabilah dan salah satu pendapat Hanafiyah, dan juga salah satu pendapat Imam Malik. Mereka berdalil bahwa hukum asal ucapan ‘amin’ adalah sunnah baik di dalam maupun di luar shalat pada tempat-tempat yang mengandung doa. Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنوا ، فإنه من وافقَ تأمينُه تأمينَ الملائكةِ ، غُفِرَ له ما تقدَّمَ من ذنبِه
“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang ucapan ‘amin’ nya sesuai dengan ucapan ‘amin’ Malaikat, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al Bukhari 780, 6402, Muslim 410)
dalam hadits ini ditetapkan bahwa imam mengucapkan ‘amin’ dan makmum diperintahkan mengucapkan ‘amin’ jika imam mengucapkannya.
Pendapat kedua, tidak dianjurkan bagi imam atau munfarid, yang dianjurkan adalah makmum. Ini adalah salah satu pendapat Imam Malik dan salah satu pendapat Hanafiyah. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا قَال الإمامُ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ، فَقُولُوا: آمِينَ، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْل الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ
“jika imam mengucapkan ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang ucapan ‘amin’ nya sesuai dengan ucapan ‘amin’ Malaikat, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu ” (HR. Al Bukhari 782, 4475)
dalam hadits ini yang diperintahkan untuk membaca ‘amin’ adalah makmum. Mereka juga beralasan bahwa dalam hal ini imam atau munfarid adalah orang yang mengucapkan berdoa, maka yang berdoa tidak perlu mengucapkan ‘amin’.
Pendapat ketiga, wajib hukumnya bagi imam, makmum dan munfarid. Ini adalah salah satu pendapat Imam Ahmad. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/112, Sifat Shalat Nabi lit Tharify 92-93).
Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yaitu pendapat pertama. Karena hadits,
إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنو
“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”
adalah dalil yang sharih (tegas) menyatakan bahwa imam dan makmum mengucapkan ‘amin’. Tidak mungkin hanya makmum saja. Dalam perspektif hadits ini, bagaimana mungkin makmum mengucapkan ‘amin’ jika imam tidak mengucapkannya? (Syarhul Mumthi, 3/67).
Hukum Mengeraskan Ta’min
Setelah mengetahui hukum ucapan ‘amin’, sekarang kita beralih pada masalah selanjutnya yaitu apakah bacaan ‘amin’ dikeraskan? Tidak ada khilaf diantara fuqaha bahwa ucapan ‘amin’ dibaca secara sirr (lirih) dalam shalat sirriyyah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/112). Namun mereka khilaf jika dalam shalat jahriyah:
Pendapat pertama: dianjurkan sirr (lirih). Ini adalah pendapat Malikiyyah dan Hanafiyah dan sebagian kecil Syafi’iyyah. Namun Malikiyyah hanya menganjurkan untuk makmum dan munfarid, sedangkan Hanafiyah menganjurkannya untuk makmum, munfarid dan imam. Alasan mereka adalah bahwa ucapan “amin” adalah doa, dan doa itu pada asalnya dibaca dengan sirr (lirih). Berdasarkan ayat:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
“berdoalah kepada Rabb-Mu dengan penuh rasa tunduk dan suara lirih” (QS. Al A’raf: 55)
Pendapat kedua: dianjurkan jahr (keras), baik untuk makmum, munfarid maupun imam. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu:
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إذا قَرأ وَلَا الضَّالِّينَ قال آمينَ ورَفع بها صوتَه
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika membaca ‘waladhallin‘, kemudian beliau mengucapkan ‘amin‘ dan mengangkat suaranya” (HR. Abu Daud 932, Ad Daruquthni 1/687, An Nasa-i 878, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud dan Sifat Shalat Nabi).
Pendapat ketiga: boleh sirr (lirih), boleh juga jahr (dikeraskan). Ini adalah pendapat Ibnu Bukair dan Ibnul ‘Arabi (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/113).
Jika kita kembalikan kepada dalil, maka dalil-dalil secara meyakinkan menunjukkan bahwa imam mengeraskan suaranya ketika mengucapkan “amin”. Sebagaimana hadits Wail bin Hujr radhiallahu’anhu, dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah imam. Selain itu juga hadits,
إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنو
“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”
Tidak mungkin makmum bisa melaksanakan perintah Nabi tersebut jika imam membaca ‘amin’ secara lirih dan tidak terdengar oleh makmum. Juga hadits Wa’il bin Hujr yang terdapat kalimat,
قال آمينَ ورَفع بها صوتَه
“beliau (Nabi) mengucapkan ‘amin‘ dan mengangkat suaranya”
Sedangkan dalil surat Al A’raf ayat 55 adalah dalil yang umum yang dikhususkan oleh hadits-hadits tersebut. Adapun untuk makmum, disinilah yang diperselisihkan. Oleh karena itu Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi mengatakan, “mengeraskan ‘amin’ untuk imam, haditsnya shahih tanpa keraguan. Adapun untuk makmum, tidak ada hadits yang sharih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (Sifat Shalat Nabi, 94). Yang ada adalah atsar dari sebagian sahabat Nabi, diantaranya Abdullah bin Zubair radhiallahu’anhu, Ibnu Juraij bertanya kepada ‘Atha:
أَكَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ يُؤَمِّنُ عَلَى إثْرِ أُمِّ الْقُرْآنِ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ وَرَاءَهُ، حَتَّى إنْ لِلْمَسْجِدِ لَلُجَّةً
“apakah Ibnu Zubair mengeraskan ucapan ‘amin’ setelah ummul Qur’an? Atha menjawab, iya dan para makmum mengucapkan amin juga. Sampai-sampai di masjid menjadi hingar-bingar” (HR. Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 2/294, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah ketika menjelaskan hadits no.952).
Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa beliau biasa mengeraskan ucapan ‘amin’ ketika menjadi makmum dan memanjangkan bacaannya (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 87). Dengan demikian, wallahu a’lam, yang rajih bahwa makmum juga disunnahkan mengeraskan bacaan amin. Ini dikuatkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
Sebagian ulama mengatakan, jika imam melirihkan bacaan ‘amin’ maka makmum tetap dianjurkan mengeraskan bacaan ‘amin’. Karena mengeraskan bacaan ‘amin’ adalah sunnah bagi imam dan makmum, anjuran itu tidak gugur hanya karena imam meninggalkannya, dan terkadang imam meninggalkannya karena lupa (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/113).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “untuk munfarid, jika ia mengeraskan bacaan Al Fatihah maka ia juga dianjurkan mengeraskan bacaan ‘amin’”. Beliau juga mengatakan, “dan terkadang jika munfarid menimbang bahwa membaca dengan sirr itu lebih utama dan lebih khusyu dan lebih jauh dari riya maka dalam kondisi ini ada penghalang bagi dia untuk mengeraskan suaranya. Karena orang sekitarnya sedang tidur atau semisalnya. Maka jika ia melirihkan bacaan Al Fatihah-nya ia juga hendaknya melirihkan bacaan ‘amin’, tidak dikeraskan” (Syarhul Mumthi‘, 3/67-68).
Kapan Mengucapkan “Amin”?
Untuk imam dan munfarid maka sudah jelas, mereka mengucapkan ‘amin’ setelah mengucapkan waladhallin. Namun untuk makmum, para ulama khilaf dalam masalah ini,
Pendapat pertama, ucapan “amin” makmum berbarengan dengan ucapan “amin” imam. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah dan pendapat mu’tamad Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits,
إذا قال أحدُكم آمين، قالتِ الملائكةُ في السماء آمين، فوافقت إحداهما الأخرى، غُفر له ما تقدم من ذنبه
“jika salah seorang diantara kalian mengucapkan ‘amin’, Malaikat pun mengucapkan ‘amin’. Maka jika ucapan ‘amin’ keduanya saling bersesuaian, maka orang tadi akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al Bukhari 780, 6402, Muslim 410).
Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, beliau mengatakan: “orang terdahulu ketika menjadi makmum mengucapkan ‘amin’ dengan jahr dan bersamaan dengan ucapan ‘amin’ imam. Serta tidak mendahului imam, tidak sebagaimana kebanyakan orang yang shalat di zaman sekarang. Juga tidak boleh terlalu telat dari ucapan amin imam. Inilah yang menjadi pendapatku yang terakhir dalam masalah ini” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 88).
Pendapat kedua, ucapan “amin” makmum setelah imam mengucapkan “amin”. Ini adalah salah satu pendapat dari Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits yang sama dengan lafadz lainnya,
إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنوا ، فإنه من وافقَ تأمينُه تأمينَ الملائكةِ ، غُفِرَ له ما تقدَّمَ من ذنبِه
“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang ucapan ‘amin’ nya sesuai dengan ucapan ‘amin’ Malaikat, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al Bukhari 780, 6402, Muslim 410)
dan semisalnya.
Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menjelaskan, “hadits ini dalil bahwa makmum mengakhirkan ucapan amin dari ucapan ‘amin’ imam. Karena adanya tartib (urutan) yang ditunjukan oleh huruf fa” (Sifat Shalat Nabi, 93). Selain itu juga pada asalnya makmum tidak boleh menyamai imam sebagaimana telah dijelaskan oleh An Nawawi rahimahullah.
Yang lebih tepat adalah pendapat pertama, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, “mereka (yang berpendapat setelah ucapan ‘amin’ imam) mengatakan, ini sebagaimana sabda Nabi فإذا كَبَّرَ فكَبِّرو ‘jika imam bertakbir maka bertakbirlah‘, dan sudah diketahui bahwa makmum bertakbir setelah imam selesai bertakbir. Maka demikian juga إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنو ‘jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin” maksudnya ucapan ‘amin’ makmum setelah imam selesai mengucapkan amin. Namun ini adalah argumen yang lemah. Karena telah ditegaskan dalam lafadz hadits yang lain:
إِذَا قَال الإمامُ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ، فَقُولُوا: آمِينَ
“jika imam mengucapkan ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”
demikian. Sehingga makna إذا أمَّنَ maksudnya adalah ‘jika imam sudah sampai pada waktunya untuk mengucapkan amin’, yaitu setelah mengucapkan waladhallin, atau maksudnya ‘jika telah tiba saat ketika ucapan amin disyariatkan’ maka ucapkanlah ‘amin’. Sehingga ucapan ‘amin’ bersamaan dengan imam (Syarhul Mumthi’, 3/69).
Ini adalah pengecualian dari larangan menyamai imam. Adapun jika makmum mengucapkan ‘amin’ lebih dahulu dari imam, maka kami tidak mengetahui para ulama berbeda pendapat mengenai terlarangnya perbuatan ini
Berdoa Sebelum Ta’min?
Syaikh Wahid Abdussalam Bali dalam ceramahnya yang berjudul “akhtha’una fis shalah” beliau mengatakan: “sebagian orang yang shalat, ketika sampai pada bacaan ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin sebelum mengucapkan amin, sang imam berdoa secara lirih ‘allhumaghfirlii wa liwalidayya …‘ dan seterusnya kemudian imam dan makmum baru mengucapkan ‘amin’, sehingga seolah-olah makmum mengaminkan doa tersebut. Ini adalah sebuah kesalahan. Yang benar hendaknya imam tidak mengucapkan apa-apa hingga mengucapkan ‘amin’, kemudian makmum mengucapkan ‘amin’”.
Perbuatan ini bertentangan dengan hadits
إِذَا قَال الإمامُ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ، فَقُولُوا: آمِينَ
“jika imam mengucapkan ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”
juga hadits
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إذا قَرأ وَلَا الضَّالِّينَ قال آمينَ ورَفع بها صوتَه
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika membaca ‘waladhallin‘, kemudian beliau mengucapkan ‘amin‘ dan mengangkat suaranya”
sehingga tidak disyariatkan membaca doa-doa diantara waladhallin dan ucapan ‘amin’. Lebih lagi, di dalam shalat banyak sekali tempat-tempat mustajab untuk berdoa yang disyariatkan semisal ketika rukuk, ketika sujud, ketika sebelum salam, dll, sehingga tidak perlu melakukannya di tempat-tempat yang tidak disyariatkan. Wallahu a’lam.
Demikian pembahasan ringkas mengenai bacaan Al Fatihah dalam shalat. Semoga bermanfaat. Wabillahi At Taufiq.

Referensi:
Syarhul Mumthi’ ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Majmu’ Fatawa War Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Sifat Shalat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Abdul Aziz Ath Tharify
Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah
Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, Syaikh Ibrahim Abu Syadi

1 Shalat yang bacaannya lirih, yaitu zhuhur dan ashar
2 Shalat yang bacaannya dikeraskan, yaitu shubuh, maghrib dan isya

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Membaca Al Fatihah Dalam Shalat (1)

Sudah kita ketahui bersama bahwa Al Fatihah adalah surat yang agung yang dibaca setiap Muslim dalam shalatnya. Pada artikel kali ini akan dibahas bagaimana hukum membaca Al Fatihah dalam shalat dan tata caranya.
Hukum Membaca Al Fatihah
Hukum Membaca Al Fatihah Bagi Makmum
  1. Pendapat pertama: Al Fatihah tidak wajib baik bagi imam, maupun makmum, ataupun munfarid. Baik shalat sirriyyah1 maupun jahriyyah2. Yang wajib adalah membaca Al Qur’an yang mudah dibaca. Yang berpendapat demikian berdalil dengan ayat (yang artinya) “maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20) dan juga dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada seseorang: ‘bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an‘” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397).
  1. Pendapat kedua: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam, makmum, maupun munfarid. Baik shalat sirriyah maupun jahriyyah. Juga bagi orang yang ikut shalat jama’ah sejak awal.
  1. Pendapat ketiga: membaca Al Fatihah itu rukun bagi imam dan munfarid, namun tidak wajib bagi makmum secara mutlak, baik dalam shalatsirriyyah maupun jahriyyah.
  1. Pendapat keempat: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah. Namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak.” [selesai nukilan]
Pertama: Adanya perintah untuk membaca Al Fatihah serta penafian shalat jika tidak membacanya
Kedua: Adanya perintah untuk diam ketika mendengarkan bacaan Al Qur’an
  • Abu Khalid perawi hadits tersebut adalah Sulaiman bin Hayyan Al Ja’fari, ia statusnya shaduq. Abu Hatim berkata: “ia shaduq”, Ibnu Hajar berkata “shaduq yukhthi’”.
  • Tambahan tersebut memiliki jalan lain dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu yang menguatkannya.
  • Tambahan pada matan bisa menjadi syadz jika matannya menyelisihi periwayatan lain yang lebih banyak dan lebih tsiqah. Adapun tambahan tersebut tidak mengandung penyelisihan atau pertentangan terhadap periwayatan lain yang lebih tsiqah.
Ketiga: Dalam shalat sirriyyah makmum wajib membaca Al Fatihah
Tarjih Pendapat
Jumhur ulama menyatakan membaca Al Fatihah adalah termasuk rukun shalat. Tidak sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Diantara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)
didukung juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
كلُّ صلاةٍ لا يُقرَأُ فيها بأمِّ الكتابِ ، فَهيَ خِداجٌ ، فَهيَ خِداجٌ
setiap shalat yang di dalamnya tidak dibaca Faatihatul Kitaab, maka ia cacat, maka ia cacat” (HR. Ibnu Majah 693, dishahihkan Al Albani dalamShahih Ibni Majah).
Jadi, membaca Al Fatihah adalah rukun shalat dan inilah yang benar insya Allah.
Adapun Abu Hanifah, beliau berpendapat bahwa membaca Al Fatihah itu bukan rukun shalat, tidak wajib membacanya. Beliau berdalil dengan ayat:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20)
Jawabannya, kata فَاقْرَءُو (bacalah) di sini adalah lafadz muthlaq, sedangkan terdapat qayd-nya dalam hadits-hadits Nabi yang sudah disebutkan bahwa di sana dinyatakan bacaan Al Qur’an yang wajib di baca dalam shalat adalah Al Fatihah. Sesuai kaidah ushul fiqh, yajibu taqyidul muthlaq bil muqayyad, wajib membawa makna lafadz yang muthlaq kepada yang muqayyad.
Al Fatihah wajib di baca pada setiap raka’at. Berdasarkan penjelasan Abu Hurairah radhiallahu’anhu berikut:
في كلِّ صلاةٍ قراءةٌ ، فما أَسْمَعَنَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم أَسْمَعْناكم ، وما أخفى منا أَخْفَيْناه منكم ، ومَن قرَأَ بأمِّ الكتابِ فقد أَجْزَأَتْ عنه ، ومَن زادَ فهو أفضلُ
dalam setiap raka’at ada bacaan (Al Fatihah). Bacaan yang diperdengarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami, telah kami perdengarkan kepada kalian. Bacaan yang Rasulullah lirihkan telah kami contohkan kepada kalian untuk dilirihkan. Barangsiapa yang membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) maka itu mencukupinya. Barangsiapa yang menambah bacaan lain, itu lebih afdhal” (HR. Muslim 396)
Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “membaca Al Fatihah adalah rukun di setiap rakaat, dan telah shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambahwa beliau membacanya di setiap raka’at” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/127).
Apakah status rukun dan hukum wajib membaca Al Fatihah itu berlaku untuk semua orang yang shalat? Para ulama sepakat wajibnya membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Namun bagi makmum, hukumnya di perselisihkan oleh para ulama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa war Rasail (13/119) mengatakan: “para ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca Al Fatihah menjadi beberapa pendapat:
Ada beberapa pendapat lain dalam masalah ini, namun khilafiyah dalam masalah ini berporos pada 3 hal:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “membaca Al Fatihah adalah rukun bagi semua orang yang shalat, tidak ada seorangpun yang dikecualikan, kecuali makmum masbuq yang mendapati imam sudah ruku’, atau mendapat imam masih berdiri namun sudah tidak sempat membaca Al Fatihah bersama imam. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab
sabda beliau ‘tidak ada shalat‘ merupakan penafian. Asal penafian adalah menafikan wujud (keberadaan), jika tidak mungkin dimaknai penafian wujud maka maknanya penafian keabsahan. Dan penafian keabsahan itu artinya penafian wujud secara syar’i. Jika tidak mungkin dimaknai penafian keabsahan maka maknya penafian kesempurnaan. Inilah tingkatan penafian” (Syarhul Mumthi, 3/296).
Syaikh Al Utsaimin melanjutkan, “sabda Nabi ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘ jika kita terapkan pada tiga jenis penafian tadi, maka kita dapati ada orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah. Sehingga tidak mungkin maksudnya penafian wujud (keberadaan). Sehingga jika ada orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah, maka shalatnya tidak sah, karena tingkatan penafian yang kedua adalah penafian keabsahan, sehingga tidak sah shalatnya, Dan hadits ini umum, tidak dikecualikan oleh apapun. Maka pada asalnya, nash yang umum tetap pada keumumannya. Tidak bisa dikhususkan kecuali dengan dalil syar’i, yaitu nash lain, ijma, atau qiyas yang shahih. Dan tidak ditemukan satu dari 3 macam dalil ini yang mengkhususkan keumuman hadits ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘” (Syarhul Mumthi, 3/297).
Diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا قُرِىءَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al A’raf: 204).
Imam Ahmad mengomentari ayat ini, beliau berkata: “para ulama ijma bahwa perintah yang ada dalam ini maksudnya di dalam shalat” (Syarhul Mumthi, 3/297).
Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا
sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. An Nasa-i 981, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i, ashl hadits ini terdapat dalam Shahihain)
Tambahan وإذا قرَأ فأنصِتوا (jika ia membaca ayat, maka diamlah), diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama mengatakan ini adalah tambahan yang syadz, Abu Daud berkata: “tambahan ini ‘jika ia membaca ayat, maka diamlah‘ adalah tambahan yang tidak mahfuzh, yang masih wahm (samar) bagi saya adalah Abu Khalid”. Sebagian ulama mengatakan tambahan tersebut adalah tambahan yang tsabit (shahih). Yang rajih, tambahan tersebuttsabit, karena
Sehingga menurut dalil-dalil ini, sebagian ulama mengatakan bahwa makmum wajib diam mendengarkan imam membaca Al Fatihah dan ayat Al Qur’an.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “adapun dalam shalat sirriyyah, para sahabat telah menetapkan bahwa mereka biasa membaca Al Qur’an ketika itu. Jabir radhiallahu’anhu berkata:
كنا نقرأ في الظهر والعصر خلف الإمام في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب وسورة وفي الأخريين بفاتحة الكتاب
“kami biasa membaca ayat Al Qur’an dalam shalat zhuhur dan ashar di belakang imam di dua rakaat pertama bersama dengan Al Fatihah, dan di dua ayat terakhir biasa membaca Al Fatihah (saja)” (HR. Ibnu Maajah dengan sanad shahih dan terdapat dalam Al Irwa’ (506))” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 120).
Sehingga dalam shalat sirriyyah makmum tetap wajib membaca Al Fatihah secara lirih dan dalam hal ini masuk dalam keumuman hadits :
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)
Syaikh Al Albani memaparkan masalah ini dengan penjelasan yang bagus. Beliau mengatakan, “awalnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallammembolehkan makmum untuk membaca Al Fatihah di belakang imam dalam shalat jahriyyah. Suatu ketika saat mereka shalat subuh, para sahabat membaca ayat Al Qur’an dalam shalat hingga mereka merasa kesulitan. Ketika selesai shalat subuh Nabi bersabda:
لعلَّكم تقرؤُون خلفَ إمامِكم ، قلنا: نعم يا رسولَ اللهِ ، قال : فلا تفعلوا إلَّا بفاتحةِ الكتابِ فإنَّه لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بها
mungkin diantara kalian ada yang membaca Al Qu’ran dibelakangku? Ubadah bin Shamit menjawab: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: jangan kau lakukan hal itu, kecuali Al Fatihah. Karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya“ (HR. Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan Ad Daruquthni)
Namun kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang mereka membaca semua ayat Al Qur’an dalam shalat jahriyyah. Hal ini sebagaimana suatu ketika mereka selesai mengerjakan shalat jahriyyah (dalam suatu riwayat disebutkan itu adalah shalat shubuh), Nabi bersabda:
هل قرأَ معي منكم أحد آنفًا ؟ فقالَ رجلٌ : نعم أَنَا يا رسولَ اللَّه . قالَ : إنِّي أقولُ : ما لي أنازعُ ؟ قالَ أبو هريرة : فانتهى النَّاسُ عنِ القراءةِ مَعَ رسولِ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فيما جهرَ فيهِ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بالقراءةِ حينَ سمعوا ذلكَ مِن رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ ، وقرَؤوا فِي أنفسِهمْ سرًّا فيما لم يجهَرْ فيهِ الإمامُ
apakah diantara kalian ada yang membaca Al Qur’an bersamaku dalam shalat barusan? Seorang sahabat berkata: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: saya bertanya kepadamu, mengapa bacaanku diselingi?”
Lalu Abu Hurairah mengatakan: “semenjak itu orang-orang berhenti membaca Al Qur’an bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dalam shalat yang beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengeraskan bacaannya, yaitu ketika para makmum mendengarkan bacaan dari Nabi tersebut. Dan mereka juga membaca secara sirr (samar) pada shalat yang imam tidak mengeraskan bacaannya”” (HR Malik, Al Humaidi, Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dan Al Mahamili, dihasankan oleh At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Abu Hatim Ar Razi dan Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim)
Beliau Shallallahu’alahi Wasallam menjadikan sikap diam mendengarkan bacaan imam sebagai bentuk i’timam yang sempurna terhadap imam. Beliau Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:
إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا
sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu ‘Awanah, Ar Ruyani dalam Musnad-nya)
Sebagaimana Nabi Shallallahu’alahi Wasallam juga menganggap istima‘ (mendengarkan bacaan imam) itu sudah mencukupi tanpa perlu membaca. Sebagaimana sabdanya:
مَن كان له إمامٌ فقراءةُ الإمامِ له قراءةٌ
barangsiapa yang memiliki imam, maka bacaan imam itu adalah bacaan baginya” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ad Daruquthni, Ibnu Majah, Ath Thahawi, Ahmad, dari jalan yang banyak secara musnad maupun mursal. Ibnu Taimiyah menganggap hadits ini kuat dalam kitab Al Furu‘ karya Ibnu ‘Abdil Hadi, dan hadits ini dishahihkan sebagian jalannya oleh Al Bushiri)”
(selesai nukilan perkataan Al Albani, dinukil dari Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 119-120).
Maka, pendapat ke empat adalah yang nampaknya lebih kuat. Membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah danjahriyyah, namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak. Dalam shalat jahriyyah, makmum cukup diam mendengarkan bacaan imam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “dalam masalah apakah makmum membaca bacaan shalat (ketika imam sedang membaca secara jahr), pendapat yang paling pertengahan adalah: jika makmum mendengar imam sedang membaca (secara jahr), maka ia wajib mendengarkan dan diam. Makmum tidak membaca Al Fatihah ataupun bacaan lain. Jika makmum tidak mendengarkan imam membaca (karena dibaca secara sirr), maka ia wajib membaca Al Fatihah dan bacaan tambahan lainnya. Inilah pendapat jumhur salaf dan khalaf. Ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan murid-muridnya, Imam Ahmad bin Hambal dan mayoritas muridnya, juga salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i yang dikuatkan oleh sebagian muhaqqiq dari kalangan murid-murid beliau, juga pendapat Muhammad bin Al Hasan serta murid-murid Imam Abu Hanifah yang lainnya” (Majmu’ Fatawa, 18/20).
Namun perlu kami tekankan bahwa ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang seharusnya kita mengormati pendapat yang menyatakan bahwa makmum tetap wajib membaca Al Fatihah dalam semua shalat. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa membaca Al Fatihah hukumnya tidak wajib sama sekali secara mutlak atau bahkan makruh bagi makmum, maka ini pendapat yang bertentangan dengan banyak dalil yang ada, sehingga tidak bisa kita toleransi.

Sumber :http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/membaca-al-fatihah-dalam-shalat-1.html

Wednesday, June 24, 2015

HUKUM membaca Kitab Suci Al-Quran dengan langgam tertentu

Bacaan Quran dengan langgam Jawa ternyata masih menjadi topik yang sangat menarik. Banyak kalangan yang mempertanyakan mengenai keabsahan bacaan tersebut.  Jika dilihat bagaimana Qari membacakan ayat al-Quran tersebut, nampak tidak ada upaya melecehkan al-Quran. Ia terlihat khusyu dan berusaha setartil mungkin sesuai kemampuan yang ia miliki.    
                                                                                                                                                    Bacaan seni tilawah tersebut memang tidak lazim. Selama ini yang umum digunakan adalah seni tilawah yang datangnya dari luar Indonesia. Sebelumnya sesungguhnya sudah ada beberapa Qari Indonesia yang membacakan Quran dengan langgam Jawa. Hal ini bisa dicek di youtube. Bahkan sebagian ada yang melagukannya sampai satu juz penuh. Hanya saja karena sifatnya individual dan tidak dibacakan di ranah publik, sehingga tidak menimbulkan kontraversi.
 Membaca al-Quran dengan langgam daerah, baik Jawa, Melayu, Dayak, Kurdi, Turki, Persia, dan lain sebagai hukumnya boleh dengan dua syarat,                 Pertama; tetap memperhatikan hak al-Quran, yaitu membacanya secara tartil. Ini sesuai dengan firman Allah:
Artinya: Bacalah Al-Quran secara tartil. (QS. Al-Muzammil: 4)
 Ayat di atas menggunakan kata perintah (fiil amr). Dalam bahasa Arab, kata perintah menunjukkan sebuah kewajiban. Jadi membaca al-Quran secara tartil, hukumnya wajib.
 Kedua: Memperhatikan etika dalam membaca al-Quran. Para ulama meletakkan standar etika dalam membaca al-Quran. Ada banyak etika, namun di sini saya sebutkan beberapa poin saja, di antaranya
  1. Membacanya sebaiknya dalam kondisi bersuci.
  2. Membaca dengan suara yang bagus.
  3. Sabar ketika menghadapi kesulitan dalam membaca al-Quran
  4. Dibaca secara khusyu
  5. Membacanya tidak untuk main-main.
  6. Membacanya tidak untuk tujuan melecehkan al-Quran.
  7. Membaca karena niat beribadah dan bukan semata untuk mencari ketenaran.
  8. Membaca secara ikhlas
  9. Membaca dengan merenungi makna yang terkandung di dalamnya. Jadi, ketika dua syarat tadi sudah terpenuhi, maka membaca dengan sei tilawah apapun hukumnya boleh. Mengapa boleh? Ada beberapa alasan yang bisa dikemukanan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( ليس منا من لم يتغن بالقرآن – وزاد غيره – يجهر به
Artinya: “Bukan dari golonganku orang yang membaca al-Quran dengan tanpa melagukan. (HR Bnukhari).
  1. Hadis di atas menunjukkan mengenai perintah untuk melagukan al-Quran.
  2. Perintah melagukan dalam hadis di atas bersifat umum dan tidak ada ketentuan khusus mengenai lagu apa yang harus digunakan. Karena ia bersifat umum, maka melagukan al-Quran dengan lagu apapun boleh selama memperhatikan dua aspek di atas, yaitu tartil dan memenuhi etika bacaan al-Quran.
  3. Tidak ada nas, baik dari Quran atau hadis nabi yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw membaca al-Quran dengan seni tilawah tertentu seperti seni tilawah yang sudah dikenal saat ini.
  4. Tidak ada atsar sahabat atau tabiin yang menunjukkan bahwa para sahabat dan tabiin membaca al-Quran dengan seni tilawah tertentu seperti seni tilawah yang sudah dikenal saat ini.
  5. Tidakadanya hadis Nabi maupun atsar sahabat dan tabiin tersebut menunjukkan bahwa seni tilawah seperti yang sudah masyhur, muncul di kalangan ulama khalaf dan bukan dari generasi salaf.
  6. Ini artinya bahwa seni tilawah merupakan perkara yang sifatnya ijtihadi. Karena ia ijtihadi, maka bisa berubah menyesuaikan ruang waktu.
  7. Jika seni tilawah dibakukan dan diwajibkan bagi setiap insan muslim, tentu ini akan memberatkan hamba. Hal ini karena tidak semua insan muslim mempunyai bakat seni tilawah yang sama dan tidak mempunyai kemampuan membaca al-Quran sesuai dengan seni tilawah yang sudah masyhur tersebut.
  8. Jika ia memberatkan hamba, bearti ia bertentangan dengan hadis Nabi yang menyatakan:
الدين يسر
Artinya: Agama itu mudah (HR Bukhari) Juga bertentangan dengan firman Allah:
لا يكلف الله نفسا الا وسعها  Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS.Al-Baqarah : 286).
Ayat di atas menunjukkan bahwa kita beribadah sebatas dengan kemampuan yang kita miliki dan bahwa Allah tidak akan membebani hamba melebihi kemampuan kita. Jika membaca al-Quran wajib dengan lagu yang sudah ditentukan tadi, tentu ini akan memberatkan bagi mereka yang tidak punya bakat membaca Quran dengan standar seni tilawah tersebut.
  1. Seni tilawah sendiri sesungguhnya bisa dibagi menjadi dua, yaitu mujawwad dan murattal. Seni tilawah seperti Muammar, Qashim Nurseha, Maria ulfa, Abdul Basyid, Nuaina’ dan lain-lain masuk dalam seni tilawah mujawad. Ia mempunyai standar baku yang disepakati bersama.Ada pula seni tilawah yang tidak baku dan sangat subyektif bergantung kepada qari. Model seni tilawah ini disebut dengan murattal, seperti yang biasa dilagukan oleh Syaih Sudes, Syaih Ghumaidi, Syaikh Minsyawi dan lain sebagainya. Setiap Syaih mempunyai seni tilawah sendiri-sendiri. Tidak seorang ulama pun baik dari Barat maupun Timur yang mencela bacaan para masyayikh tersebut. Ini menunjukkan bahwa seni tilawah memang perkara ijtihadi dan boleh berubah sesuai kemampuan masing-masing.
  1. Al-Quran diturunkan untuk umat manusia dan bukan hanya untuk orang Arab saja. Seni membaca al-Quran juga bukan monopoli orang Arab. Buktinya, setiap kita dalam mengaji al-Quran mempunyai khas masing-masing dan tidak ada seorang ulama yang mengharamkanDari paparan di atas, jelaslah bahwa membaca al-Quran dengan seni tilawah daerah, termasuk juga dengan langgam Jawa dibolehkan secara syariat selama memenuhi hak al-Quran, yaitu membaca secara tartil dan sesuai dengan etika dalam membaca al-Quran. Wallahu alam
    Sumber :http://almuflihun.com/hukum-membaca-al-quran-dengan-langgam-selain-arab-boleh/.

    Apakah Alasan dan Dalil diatas Sudah cukup untuk menggunakan Langgam Daerah dalam membaca Kitab Suci Al-Quran ? silakan anda menilainya sendiri.

    Bantahan dan Alasannya,mengapa dilarang membaca Al-quran dengan Langgam tertentu..?
    ---------------------------------
    Assalamu 'alaikum wr. wb.
    Ustadz, ramai di media sosial perbedatan masalah hukum membaca Al-Quran dengan langgam Jawa. Ada yang mengharamkan dan ada juga yang membolehkan. Lalu bagaimana tanggapan ustadz dalam masalah ini, apakah hukumnya boleh atau tidak? 
    Mohon penjelasan yang adil dan seimbang serta mencerahkan. Terima kasih.
    Wassalam
    Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
    Dalam masalah ini memang wajar terjadi perbedaan pandangan di antara banyak pihak. Sesama pihak-pihak yang memang ahli di bidang ilmu baca Al-Quran, yaitu para qari dan ulama qiraat pun kita menemukan perbedaan pendapat.
    Dan lucunya, perbedaan pendapat ini pun menular juga di kalangan yang bukan ahlinya, yaitu mereka yang bukan qari' dan bukan pula ulama ahli qiraat. Mereka yang boleh jadi baca Qurannya pun masih ngalor-ngidul, blang bentong tidak karuan, tetapi tiba-tiba merasa menjadi ahli qiraat nomor wahid. Mereka ini dengan mudahnya menuding-nuding kesana kesini dan menyalah-nyalahkan siapa pun yang dianggapnya berseberangan cara pandang.
    Kita harus maklum dengan kelakuan kalangan awam yang rasa sok tahu ini. Apalagi ada juga yang mengakit-ngaitkannya dengan urusan politik, sampai saya juga dapat SMS yang mengingatkan bahwa Indonesia layak dapat adzab dan  dihancurkan Allah gara-gara pemerintah dzalim membiarkan masalah ini. 
    Sekilas buat sebagian kita mendengarkan Al-Quran dibaca dengan langgam Jawa ini memang terasa aneh. Karena biasanya yang kita dengar semuanya nada-nada bacaan Al-Quran itu khas timur tengah (middle east). Tetapi kali ini nada-nadanya punya nuansa khas tanah air, yaitu nada-nada Jawa. Buat yang biasa mendengarkan wayang, terasa ini bukan bacaan Al-Quran tetapi tembang-tembang khas di pewayangan. 
    Sehingga wajar bila ada yang terlalu mudah main haramkan saja, khususnya bila yang mendengar itu orang-orang Arab sana. Jangankan kuping mereka, kuping kita yang asli made in Indonesia pun merasa rada aneh. Tetapi apakah sekedar merasa aneh lantas hukumnya jadi haram?
    Dalam hal ini sebaiknya kita yang awam ini jangan terlalu mudah main bikin fatwa sendiri. Ada baiknya kita serahkan kepada para ulama ahli qiraat yang memang ahlinya. Kalau pun ada perbedaan pendapat dari mereka, setidaknya kita tidak mengambil alih hal-hal yang bukan wewenang kita.
    A. Pendapat Yang Mengharamkan
    Ada beberapa ulama ahli qiraat yang sudah berfatwa tentang haramnya membaca Al-Quran dengan langgam Jawa ini. Salah satunya adalah Syeikh Ali Bashfar yang bermukim di Saudi Arabia. Salah seorang muridnya ada yang mengirimkan rekaman bacaan Al-Quran dengan langgam Jawa ini. Dan kemudian jawaban dari beliau berupa larangan.Kesalahan tajwid; dimana panjang mad-nya dipaksakan mengikuti kebutuhan lagu. 
    Kalau saya cermati apa yang beliau fatwakan itu, setidaknya saya mencatat ada empat masalah yang beliau tuturkan, antara lain adalah :
    1. Kesalahan Lahjah
    Kesalahan nomor satu dari rekaman yang diperdengarkan itu menurut beliau adalah kesalahan lahjah si pembacanya yang cenderung orang Jawa. Seharusnya lahjahnya harus lahjah Arab.
    Dan banyak orang yang mengharamkan hal ini dengan berdalil kepada hadits berikut :
    Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahlkitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya. (HR. Tarmidzi)
    2. Dianggap Memaksakan Diri (Takalluf)
    Kesalahan kedua dianggap adanya semacam sikat memaksakan, atau takalluf. Pembacanya dianggap terlalu memaksakan untuk meniru lagu yang 'tidak lazim' dalam membaca Al-Quran. 
    3. Dicurigai Ashabiyah
    Ditambahkan lagi dalam fatwa beliau bahwa ada kecurigaan yang dianggap cukup berbahaya, yaitu bila ada niat merasa perlu menonjolkan kejawaan atau keindonesiaan. Hal ini dianggap membangun sikap ashabiyyah dalam ber-Islam. Padahal ashabiyah itu hukumnya haram.
    4. Khawatir Memperolok Al-Quran
    Dan yang paling fatal jika ada maksud memperolok-olokkan ayat-ayat Allah yang mereka samakan dengan lagu-lagu wayang dalam suku Jawa. 
    Maka dengan dasar empat masalah di atas dianggap bahwa membaca Al-Quran dengan langgam Jawa itu tidak boleh dilakukan. Nampaknya fatwa beliau ini kemudian disebar-luaskan di berbagai media, dan siapapun bisa membacanya.
    B. Pendapat Yang Membolehkan
    Sementara kita juga menemukan ulama ahli qiraat di Indonesia, sebut saja misalnya KH. Prof. Dr. Ahsin Sakho Muhammad. Beliau seorang pakar ilmu yang langka: ilmu-ilmu Al-Quran. Lulus sebagai doktor dari Jamiah Islamiyah Madinah dengan prestasi mumtaz syaraful ulaa alias cumlaude.  Kiprah beliau di dunia ilmu qiraat di Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi. Beliau pernah menjadi rektor dan guru besar di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta dan menjadi team pentashih terjemahan Al-Quran di Departemen Agama RI.
    Kalau kita tanyakan masalah ini kepada beliau, nampaknya pandangan jauh beliau lebih luas. Barangkali karena beliau memang orang Indonesia asli yang paham betul karakter bacaan Al-Quran bangsa ini. Beliau mengatakan sebagai berikut :
    "Ini adalah perpaduan yang baik antara seperti langit kallamullah yang menyatu dengan bumi yakni budaya manusia. Itu sah diperbolehkan. Hanya saja, bacaan pada langgam budaya harus telap berpacu seperti yang diajarkan Rasul dan para sahabatnya. Dalam hal ini, tajwid dalam hukum bacaannya, panjang pendeknya dan mahrajnya".
    Lalu bagaimana dengan hadits yang mana Rasulullah SAW mengharamkan kita menggunakan langgam selain Arab? Terjemahan haditsnya kurang lebih seperti berikut ini :
    Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahlkitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya. (HR. Tarmidzi)
    Maka dari sisi derajat hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah alias tidak perlu dipakai. 
    b. Langgam Arab Yang Mana?
    Negeri Arab di masa Rasulullah SAW sangat sempit dan terbatas, seputar Mekkah, Madinah dan kisaran jaziarah Arabia saja. Di luar itu tidak pernah disebut Arab. Habasyah, Mesir, Yaman, Palestina, Suriah, Iraq, Iran di masa itu masih bukan Arab. Agama yang dianut penduduknya bukan agama Islam, mereka dianggap sebagai bangsa-bangsa kafir non Arab. Bahkan bahasa mereka pun juga bukan bahasa Arab.
    Jadi kalau pun hadits Rasulullah SAW yang dhaif itu masih mau dipaksa-paksa juga untuk dipakai, tetap saja tidak tepat. Seandainya hadits itu dibilang shahih, dan larangan Rasulullah SAW itu 'terpaksa' kita ikuti juga, maka nagham atau irama cara baca Al-Quran yang kita kenal selama ini pun harusnya terlarang. Sebab nagham Bayyati, Shoba, Nahawand, Hijaz, Rost, Sika, dan Jiharka itu bukan dari Mekkah atau Madinah, bahkan bukan dari Jaziarah Arab. 
    Ketujuh jenis nagham itu malah berasal dari Iran. Dan Iran di masa Rasulullah SAW bukan negeri Arab. Bahkan sampai hari ini pun tidak pernah dianggap sebagai negara Arab. Pemerintah Iran sendiri pun tidak pernah mengaku-ngaku sebagai negara Arab. Bahasa resmi mereka pun juga bukan bahasa Arab melainkan bahasa Persia.
    Jadi kalau mau melarang langgam Jawa misalnya, maka tujuh langgam yang sudah kita kenal sepanjang sejarah Islam itu pun harus dilarang juga, lantaran bukan langgam Arab sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah SAW.
    Ahmad Sarwat, Lc., MA
    Lebih lanjut beliau menambahkan :
    "Cara membaca Al-Quran yang mengacu pada langgam budaya Indonesia sangat diperbolehkan dan tidak ada dallil shahih yang melarang hal demikian. Hanya saja, saya belum pernah mendengar 'jawabul jawab' di dalam langgam Cina, atau pun di Indonesia. Tetapi jika hanya sekedar langgam Jawa, Sumatra, Sunda, Melayu dan lainnya itu sah saja, selama memperhatikan hukum bacaan semestnya. Itu kratifitas budayanya".

    1. Hadits Larangan Selain Langgam Arab
    a. Sanad Yang Lemah
    Dari sisi sanad sebenarnya kalau ditelurusui kedudukan hadis ini tersebut tergolong dalam hadis dha'if (lemah). Karena salah satu sanad perawinya ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif. Bahkan ada muhaddits yang mengatakan bahwa hadits ini termasuk munkar dan bukan termsuk hadist.
    2. Lahjah Tidak Benar
    Lahjah yang dianggap tidak benar oleh Syeikh Ali Basfar itu boleh jadi memang demikian. Maksudnya si pembacanya dianggap kurang baik bacaannya. Dan itu biasa, semua yang pernah ikut daurah Al-Quran dengan beliau pasti pernah merasakan disalah-salahkan ketika dianggap lahjah kita kurang pas di telinga beliau.
    Namun kita harus membedakan antara lahjah dengan langgam. Yang beliau kritisi adalah lahjahnya yang kurang tepat dan itu harus diakui. Membaca Al-Quran memang harus dengan lahjah yang benar. SIfat-sifat huruf, makharijul huruf dan juga hukum-hukum yang berlaku pada ilmu tajwid memang wajib ditaati dan dijalankan dengan benar.
    Tetapi langgam adalah sesuatu yang lain dan berbeda. Karena langgam merupakan irama atau nada, bukan lahjah. Contoh mudahnya, ketika membunyikan huruf shad, pipi harus kembung. Huruf ra' kadang harus dibaca tebal kadang harus tipis. Ini semua adalah lahjah dan bukan irama.
    Sedangkan langgam itu adalah irama dan nada, sama sekali tidak ada hubungannya dengan titik artikulasi, pelafalan huruf ataupun hukum-hukum seperti idzhar, idgham, iqlab dan ikhfa'. Dan kalau sudah masuk wilayah irama dan nada, tiap bangsa dan tiap negeri pasti punya ciri khas yang identik dan tidak bisa dipisahkan. 
    Kalau kita mendengar orang Cina asli di Tiongkok sana sedang membaca Al-Quran, pasti kita akan merasakan ada 'nada-nada' khas Cina. Begitu juga kalau kita dengar orang Melayu membaca Al-Quran, kita akan merasakan nuansa khas nada-nada kemelayuan. Apakah ini dianggap melanggar ketentuan membaca Al-Quran? Jawabnya tentu tidak sama sekali.
    Tetapi ketika orang Jawa keliru membunyikan huruf 'ain menjadi 'ngain', atau huruf ha' dibaca menjadi 'kha' atau huruf ba' yang dibunyikannya lebih nge-bass karena lahjah Jawanya, disitulah letak kekeliruan yang harus diluruskan. Adapun nada bacaan yang terasa nada Jawa selama tidak menyalahi hukum-hukum bacaan, tentu tidak jadi masalah.
    3. Langgam Jawa = Menghidupkan Ashabiyah?
    Adapun masalah membaca Al-Quran dianggap menghidupkan ashabiyah, jelas sekali bahwa yang jadi masalah bukan pada langgamnya tetapi pada niat dan tujuan untuk menghidupkan ashabiyah. Kalau memang niatnya semata-mata ingin menghidup-hidupkan ashaiyah, tentu saja hukumnya haram. 
    Tetapi bagaimana kita bisa pastikan bahwa yang membacanya punya niat tersebut? Lantas bagaimana kalau si pembacanya sama sekali tidak punya niatan dan maksud untuk menghidup-hidupkan ashabiyah? Apakah kita tetap memaksanya harus ashabiyah?
    Ketika kita menyanyikan lagu Indonesia Raya, bukankah itu juga ashabiyah? Ketika kita mengibarkan sang saka Merah Putih, bukankah itu ashabiyah? Apakah haram kita menyanyikannya dan mengibarkan bendera Merah Putih?
    4. Langgam Jawa = Menjelekkan Al-Quran
    Apalagi kalau dikatakan bahwa langgam Jawa itu dianggap menjelekkan Al-Quran. Tentu sifatnya sangat subjektif sekali. Apa benar qari yang lahjahnya sempurna, tajwidnya benar dan suaranya fasih luar biasa, ketika membaca Al-Quran dengan langgap Jawa lantas niatnya ingin mengolok-ngolok dan menjelekkan Al-Quran?
    Kesimpulan
    Apa yang saya tulis di atas semuanya bukan pendapat saya, tetapi hanya hasil kutipan dan saduran dari pendapat para pakar ilmu qiraat semata. Dan kalau ada dua pendapat yang saling bertentangan, kita harus maklum. Namanya saja masalah ijtihad, para ahlinya silahkan berbeda pendapat.
    Sementara kita yang bukan ahli ilmu qiraat, apalagi yang kualitas bacaan Al-Qurannya masih parah dan bermasalah besar, sebaiknya kita menahan diri untuk tidak ikut-ikutan berfatwa. Biarkan saja para pakarnya yang berbeda pendapat, sebab mereka memang ahlinya. Mereka berhak dan punya kompetensi untuk itu. 
    Adapun kita, mari kita duduk manis saja mendengarkan para pakar berbeda pendapat, tidak perlu merasa jadi pahlawan kesiangan di bidang yang sama sekali bukan keahlian kita. 
    Dari pada bikin komen terlalu jauh ternyata kurang tepat, lebih baik kita tahu diri. Saya sendiri agak segan menuliskan masalah ini, karena tahu persis bahwa para pakarnya saja sudah berbeda pendapat. Jangan pula bertanya saya ikut yang mana.
    Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

    Sumber:http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1431011215&=baca-quran-langgam-jawa-haramkah.htm

40 Hadist meriwayatkan tentang fadilah membaca Al-Quran.





Hadits ke- 1
عَن عُثَمانَ رَضِىَ اللٌهُ عَنهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صٌلَى اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلٌمَ خَيُركُم مَن تَعلٌمَ القُرانَ وَعَلٌمَهَ . ) رواه البخاري وابو داود والترمذي والنسائ وابي ماجه هكذا في الترغيب وعزاه الى مسلم ايضا لكن حكي الحافظ في الفضح عن ابي العلاء ان مسلما سكت عنه ).

Dari Utsman r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda, “sebaik-baiknya kamu adalah orang yang belajar al Qur’an dan mengajarkannya.” (Hr. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah)
Dalam sebagian besar kitab, hadis diriwayatkan dengan menunggukan huruf wa (artinya dan) , sebagaimana terjemahan di atas. Dengan merujuk terjemahan di atas, maka keutamaan itu diperuntukkan bagi orang yang belajar al Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain. Namun dalam beberap kitab lainnya, hadits itu diriwayatkan dengan menggunakan huruf aw (artinya ataw), sehingga terjemahanya adalah, “Yang terbaik di antara kamu ialah orang yang belajar Al-Quraan saja ataw yang mengajarkan alquraan saja.” Dengan demikian, maka keduanya mendapatkan derajat keutamaan yang sama . 
Al Qur’an adalah inti agama. Menjaga dan menyebarkan sama dengan menegakan agama. Karenanya sangat jelas keutamaan mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya, walaupun bentuknya berbeda-beda. Yang paling sempurna adalah mempelajarinya, dan akan lebih sempurna lagi jika mengetahui maksud dan kandungannya. Sedangkan yang terendah adalah mempelajari bacaannya saja.
Hadist di atas diperkuat oleh sebuah hadist yang diriwayatkan dari Sa’id bin Sulaim r.a. secara mursal bahwa barang siapa mempelajari al Qur’an tetapi ia menganggap bahwa orang lain yang telah diberi kelebihan yang lain lebih utama darinya, berarti ia telah menghina nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya, yaitu taufik untuk mempelajari al Qur’an.
Jelaskanlah, bahwa al Qur’an itu lebih tinggi daripada yang lainnya, sebagaimana akan diterangkan dalam hadist-hadist selanjutnya, sehingga harus diyakini bahwa membaca dan mengajarkannya lebih utama daripada segala-galanya. Mengenai hal ini, Mulla Ali Qari rah.a menegaskan dalam hadist yang lain bahwa barang siapa yang menghafal al Qur’an, maka ia telah menyimpan ilmu kenabian dikepalanya. Sahal Tustari rah.a. berkata, “Tanda cinta seseorang kepada Allah adalah menanamkan rasa cinta terhadap al Qur’an didalam hatinya.
Dalam Syarah al Ihya diterangkan bahwa diantara golongan orang yang akan mendapatkan naungan Arasy Ilahi pada hari Kiamat yang penuh ketakutan yaitu orang yang mengajarkan al Qur’an kepada anak-anak, dan orang yang mempelajari al Qur’an pada masa kanak-kanak serta ia terus menjaganya hingga masa tua.



Hadits ke-2
عَن اَبٍي سَعيدٍ رَضَي اللٌهُ عَنهٌ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌه صَلٌى اللٌه عَلَيهٍ وَسَلٌمَ يَقُولُ الرَبُ تَبَاَركَ وَتَعَالى مَن شَغَلَهُ الُقرُانُ عَن ذَكرِي وَمَسْئلَتيِ اَعطَيتُه اَفضَلَ مَا اُعطِي السْاَئِلينً وَفَضلُ كَلآمِ اللٌه عَلى سَائِرِ الكَلآمِ كَفَضلِ اللٌه عَلى خَلقِه (رواه الترمذي والدارمي والبيهقي في الشعب ).
Dari Abu Sa’id r.a. berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Allah berfirman, ‘barang siapa yang disibukan oleh al Qur’an daripada berdzikir kepada-Ku dan memohon kepada-Ku, maka Aku berikan kepadanya sesuatu yang lebih utama daripada yang Aku berikan kepada orang-orang yang memohon kepada-Ku dan keutamaan kalam Allah diatas seluruh perkataan adalah seumpama keutamaan Allah atas makhluk-Nya.” (Hr. Tirmidzi, DArami, dan Baihaqi)
Orang yang sibuk menghafal, mempelajari, atau memehami al Qur’an sehingga tidak sempat berdo’a, maka Allah akan memberinya sesuatu yang lebih utama daripada yang Dia berikan kepada orang yang berdo’a. sebagaimana dalam urusan keduniaan, jika seseorang akan membagikan kue atau makanan kepada orang banyak, lalu ia menunjuk seseorang untuk membagikannya, maka bagian untuk petugas yang membagikan itu akan disisihkan lebih dulu. Mengenai ketinggian orang yang selalu sibuk membaca al Qur’an telah disebutkan di dalam hadits lain, bahwa Allah akan mengaruniakan kepadanya pahala yang lebih baik daripada pahala orang yang selalu bersyukur.
Hadits ke-3
عَن عُقبةً بنِ عَامِرٍ رَضيِ اللٌهٌ عَنهٌ قَالَ خَرَجَ عَلَينًا رَسُولٌ اللٌه صَلْي اللٌه عَلَيهِ وَسَلٌمَ وَنخَنُ فيِ الصفٌةِ فَقَالَ اَيٌكُم يُحبٌ اَن يَغدُ وَ كُلٌ يَومٍ اِلي بُطحَانَ اَواَلى الَعقَيقَ فَيَاٌتيِ بِنَاقَتَينِ كَومَاوَينِ فِي غَيِر اِثمٍ وَلآ قَظيعَةِ رَحَمٍ فَقُلنَا يَارَسُولَ اللٌهِ كُلٌنَا نُحِبٌ ذَالِكَ قَالَ اَفَلآ يَغدُو اَحَدُكُمَ اِلَى المسَجِدِ فَيَتَعَلَمَ اَوفَيَقَرٌاَ ايَتَينِ مِن كِتَابِ اللٌه خَيرٌلَه مِن نَاقَتَينِ وَثَلآثُ خَيرُلَه مِن ثَلآثٍ وَاَربَعُ خَيرُلَه من اربع ومن اعدادهن من الأبل .(رواه مسلم وابو داوود).
Dari Uqbah bin Amir r.a., ia menceritakan, “Rasulullah saw. Datang menemui kami di shuffah, lalu beliau bertanya, ‘Siapakah diantara kalian yang suka pergi setiap hari ke pasar Buth-han atau Aqiq lalu ia pulang dengan membawa dua ekor unta betina dari jenis yang terbaik tanpa melakukan satu dosa atau memutuskan tali silaturahmi?’ Kami menjawab, Ya Rasulullah, kami semua menyukai hal itu.’ Rasululullah saw. Bersabda, ‘Mengapa salah seorang dari kalian tidak kemasjid lalu mempelajari atau membaca dua buah ayat al Qur’an (padahal yang demikian itu) lebih baik baginya dari pada dua ekor unta betina, tiga ayat lebih baik dari tiga ekor unta betina, dan begitu pula membaca empat ayat lebih baik baginya daripada empat ekor unta betina, dan seterusnya sejumlah ayat yang dibaca mendapat sejumlah yang sama dari unta-unta.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)
Shuffah adalah sebuah lantai khusus di Masjid Nabawi tempat orang-orang miskin Muhajirin tinggal. Mereka dikenal dengan sebutan Ahlush Shuffah (orang-orang shuffah). Jumlah sahabat ahlush shuffah selalu berubah dari waktu ke waktu. ‘Allama Suyuti rah.a. telah menyusun seratus
satu nama sahabat yang tinggal di Shuffah, dan ia menulis tentang mereka di dalam risalah tersendiri. SedangkanButh-han dan Aqiq adalah nama dua buah tempat di Madinah sebagai pasar perdagangan unta. Orang Arab sangat menyukai unta, terutama unta betina yang berpunuk besar.
Maksud ‘tanpa melakukan suatu dosa’ adalah mendapatkan sesuatu dari orang lain tanpa usaha atau berkorban. Bukan harta yang bertambah melalui pemerasan, pencurian, atau merampas warisan sesama saudara. Oleh karena itu, Rasulullah saw. Menyatakan dalam sabdanya, bahwa unta itu diperoleh tanpa bersusah payah sama sekali dan tanpa berbuat suatu dosa pun. Sudah pasti memperoleh harta dengan cara demikian lebih disenangi oleh semua orang. Akan tetapi Nabi saw. Menyatakan bahwa mempelajari beberapa ayat al Qur’an itu lebih baik dan lebih utama daripada mendapatkan semua itu.
Hendaknya kita meyakini hal ini, bahwa keutamaan dan pahala mempelajari al Qur’an tidaklah sebanding dengan seekor atau dua ekor unta, bahkan dengan kerajaan seluas tujuh benua sekalipun. Karena semua itu pasti akan ditinggalkan, jika bukan hari ini tentu hari esok saat maut menjemput semuanya terpaksa harus berpisah. Sebaliknya, pahala membaca satu ayat Al Qur’an akan bermanfaat untuk selama-lamanya. Dalam urusan keduniaan, kita dapat saksikan bahwa orang orang yang diberi satu rupiah tanpa beban tanggung jawab apapun akan lebih senang daripada dipinjami seribu rupiah agar disimpannya tetapi kelak akan diambil lagi, karena ia hanya dibebani amanah tanpa mendapat manfaat sedikitpun.
Hadits diatas intinya adalah mengingatkan kita akan perbandingan sesuatu yang fana dengan sesuatu yang abadi. Ketika seseorang sedang sedang diam atau bergerak, hendaknya selalu berfikir apakah ia sedang berbuat sesuatu yang hasilnya sementara dan sia-sia atau sesuatu yang hasilnya kekal dan bermanfaat? Betapa rugi jika kita gunakan waktu hanya untuk menghasilkan bencana yang abadi.
Kalimat terakhir didalam hadits di atas menyebutkan bahwa jumlah ayat yang sama tetapi lebih utama daripada jumlah untanya. Kalimat itu mengandung tiga maksud, yaitu:
1) Walaupun sampai jumlah empat ayat saja yang disebutkan secara terperinci, tetapi maksudnya adalah semakin banyak jumlah ayat yang dibaca akan semakin semakin banyak pahala yang diperoleh. Dalam pengertian ini, semua unta sama, baik jantan maupun betina.
2) Jumlah untanya sama dengan jumlah yang disebutkan dalam hadits diatas, tetapi untanya bergantung pada selera masing-masing. Ada yang menyukai unta betina ada yang menyukai unta jantan. Oleh sebab itu, Nabi saw. Menegaskan bahwa satu ayat lebih berharga daripada seekor unta betina. Jika seseorang menyukai unta jantan, maka satu ayat lebih baik daripada unta jantan.
3) Jumlahnya tidak lebih dari empat, tetapi pengertiannya bukan saja lebih baik daripada unta betina atau unta jantan, tetapi lebih baik daripada keduanyanya. Jelasnya, membaca satu ayat lebih baik daripada sepasang unta jantan dan unta betina. Demikianlah seterusnya, setiap ayat lebih utama daripada sepasang unta.
Ayah saya (nawwarullaahu marqadahu) lebih setuju dengan pendapat ini, sebab lebih banyak keutamaannya. Namun walaupun demikian, tetap tidak dapat disamakan antara membaca satu ayat al Qur’an dengan satu ekor atau dua ekor unta. Ungkapan ini sekedar gambaran dan contoh saja. Sebelumnya telah jelaskan bahwa satu ayat al Qur’an akan memperoleh pahala abadi yang lebih utama dan lebih baik daripada kerajaan seluas tujuh benua yang fana ini.
Mulla Ali Qari rah.a.menulis tentang seorang syaikh yang sedang bersafar. Ketika tiba di Jeddah, ia diminta oleh para pengusaha kaya agar tinggal lebih lama di tempat mereka, agar harta dan perniaganya mendapat berkah karena kehadiran seorang syaikh.
Pada mulanya syaikh menolak tawaran mereka, tetapi setelah didesak akhirnya syaikh berkata, “Berapakah keuntungan tertinggi dari perniagaan kalian?” jawab mereka, “penghasilan kami berbeda, setidaknya kami bias mendapatkan keuntungan dua kali lipat.” Syaikh itu berkata, “kalian ini bersusah payah untuk mendapat keuntungan yang sedikit. Aku tidak menghendaki karena sesuatu yang sedikit ini aku harus kehilangan shalatku di Masjidil Haram yang pahalanya dilipatgandakan hingga seratus ribu kali.”
Hakikat inilah yang harus dipikirkan oleh setiap kaum muslimin, sehingga mereka tidak mengorbankan keuntungan agama demi mendapatkan keuntungan dunia yang sedikit ini.
Hadits ke-4
عَن عَائِشَةَ رَضي اللٌهُ عَنهاَ قَالَتُ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلٌم الَماهر باِلقُرانِ مَعَ السَفَرَةَ الكِرَامِ الَبَرَرَةِ وَاٌلَذِي يَقُراٌ القُرانَ وَيَتَتَعتَعُ فِيه وَهُوَ عَلَيهِ شَاقٌ لَه اَجَران (رواه البخارى ومسلم وابو داوود والترمذى وابن ماجه).
Dari Aisyah r.h.a berkata bahwa Rasulullah saw.bersabda , “Orang yang ahli dalam al Qur’an akan berada bersama malaikat pencatat yang mulia lagi benar, dan orang terbata-bata membaca al Qur’an sedang ia bersusah payah (mempelajarinya), maka baginya pahala dua kali.” (Hr. bukhari, Nasa’I, Muslim, Abu Daud, Tarmidzi, dan ibnu Majah)
Maksud orang yang ahli dalam al Qur’an adalah orang yang hafal al Qur’an dan senantiasa membacanya, apalagi jika memahami arti dan maksudnya.
Dan yang dimaksud ‘bersama-sama malaikat’ adalah, ia termasuk golongan yang memindahkan al Qur’an al-Karim dan Lauh Mahfuzh, karena ia menyampaikannya kepada orang lain melalui bacaannya. Dengan demikian, keduanya memiliki pekerjaan yang sama. Atau bisa juga berarti, ia akan bersama para malaikat pada hari Mahsyar kelak.
Orang yang terbata-bata membaca al Qur’an akan memperoleh pahala dua kali; satu pahala karena bacaannya, satu lagi karena kesungguhannya mempelajari al Qur’an berkali-kali. Tetapi bukan berarti pahalanya melebihi pahala orang yang ahli al Qur’an. Orang yang ahli al Qur’an tentu saja memperoleh derajat yang istimewa, yaitu bersama malaikat khusus. Maksud yang sebenarnya adalah, bahwa dengan bersusah payah mempelajari al Qur’an akan menghasikan pahala ganda. Oleh karena itu, kita jangan meninggalkan baca al Qur’an, walaupun mengalami kesulitan dalam membacanya.
Mulla Ali Qari rah.a. meriwayatkan dari Thabrani dan Baihaqi, “Barang siapa membaca al Qur’an sedangkan ia tidak hafal, maka ia akan memperoleh pahala dua kali lipat. Dan barang siapa benar-benar ingin menghafal al Qur’an, sedangkan ia tidak mampu, tetapi ia terus membacanya, maka Allah akan membangkitkannya pada hari Mashyar bersama para hafizh al Qur’an.
Hadits ke-5
عَن ابنِ عُمَرَ رَضي اللٌهُ عَنهاَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلٌم لآحَسَدَ ألآ فيِ اثنَتَينِ رَجُلُ اتَاهُ اللٌهُ القُرانَ فَهُو يَقُومُ بِه انَأءَ اللًيلِ وَانَأءَ النَهَارِ وَرَجُلُ اعطَاهُ مَالآ فَهُوَ يُنفق مِنهُ انَأءَ الٌلَيِل وَانَأءَ النٌهَارِ.(رواه البخارى ومسلم والترمذى والنسائى وأبن ماجه).
Dari Ibnu Umar r.huma. berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tidak diperbolehkan hasad (iri hati) kecuali terhadap dua orang: Orang yang dikaruniai Allah (kemampuan membaca/menghafal al Qur’an). Lalu ia membacanya malam dan siang hari, dan orang yang dikaruniai harta oleh Allah, lalu ia menginfakannya pada malam dan siang hari.” (Hr. Bukhari, Tarmidzi, dan Nasa’i)
Dalam al Qur’an dan hadits banyak diterangkan bahwa hasad atau iri hati yang hukumannya mutlak dilarang. Sedangkan menurut hadits diatas, ada dua jenis orang yang kita boleh hasad terhadapnya.
Karena banyak riwayat yang terkenal mengenai keharaman hasad ini, maka alim ulama menjelaskan hasad dalam hadist ini dengan dua maksud:
Pertama, hasad diartikan risyk yang dalam bahasa arab disebut ghibtah. Perbedaan antara hasad dan ghibtah yaitu: hasad adalah jika seseorang mengetahui ada orang lain memiliki sesuatu, maka ia ingin agar sesuatu itu hilang dari orang itu, baik ia sendiri mendapatkannya atau tidak. Sedangkan ghibtah ialah seseorang yang ingin memiliki sesuatu secara umum, baik orang lain kehilangan atau pun tidak. Karena secara ijma’ hasad adalah haram, maka para ulama mengartikan hasad dalam hadits diatas dimaksudnya adalah ghibtah yang dalam urusan keduniaan dibolehkan, sedang dalam masalah agama adalah mustahab (lebih disukai).
Kedua, mungkin juga maksudnya sebagai pengandaian. Yakni seandainya hasad itu dibolehkan, maka bolehlah hasad terhadap dua jenis tersebut diatas.
Hadits ke-6 
عَن اَبي مُوُسى رَضي اللٌهُ عَنهُ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلٌم مَثَلُ المُومِنِ اٌلَذِي يَقَراُ القُرانَ مَثَلُ الآترُجَةِ رِيحُهَا طيِبُ وَطَعمُهَا طَيِبُ وَمَثَلُ الموُمِنِ اٌلَذِي لآيَقرَاٌ القُرانَ كَمَثَلِ التَمرَة لآريَح لَهَا وَطَعمُهَا حُلوٌ وَمَثَلُ المُنَافِقِ اٌلَذِي يَقرَأ القُرانَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيْحُهَا طَيّبٌ وَطَعْمُهَا مُرُّ وَمَثَلُ المُنَافق اّلذِي لا يَقْرَأُ القُرْانَ كَمَثِلِ الحَنُظلَةِ لَيسَ لَهَا رِيحُ وطعمها مُرُّ. (رواه البخارى ومسلم والنسائي وابن ماجة). Dari Abu Musa r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “perumpamaan orang mu’min yang membaca al Qur’an adalah seperti jeruk manis yang baunya harum dan rasanya manis. Perumpamaan orang mu’min yang tidak membaca al Qur’an adalah seperti kurma, tidak berbau harum tetapi rasanya manis. Perumpamaan orang munafik yang membaca al Qur’an adalah seperti bunga, baunya harum tetapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al Qur’an seumpama buah pare, tidak berbau harum dan rasanya pahit.” (Hr. Bukhari, Muslim, Nasai, dan Ibnu Majah)
Hadits diatas menunjukan perbandingan antara sesuatu yang abstrak dengan yang nyata, sehingga dapat lebih mudah dibedakan antara orang yang membaca al Qur’an dan yang tidak membacanya. Padahal jelas bahkelezatan tilawat al Qur’an jauh berbeda dengan kelezatan apa pun di dunia ini, seperti jeruk dan kurma. Tetapi banyak rahasia dibalik tamsil hadits yang menjadi saksi terhadap ilmu Nubuwwah dan luasnya pemahaman Nabi saw. Misalnya: jeruk mengharumkan mulut, menguatkan pencernaan, membersihkan lambung, dan sebagainya. Semua manfaat itu juga dihasilkan oleh pembaca al Qur’an, yaitu mewangikan mulut, membersihkan batin,dan menguatkan ruhani. Keistimewaan lainnya dari buah jeruk adalah bahwa jin tidak dapat memasuki rumah yang didalamnya terdapat jeruk. Jika benar maka hal ini merupakan suatu keserupaan khusus pada al Qur’an. Saya mendengar dari beberapa dokter ahli yang mengatakan bahwa jeruk manis dapat menguatkan ingatan. Dan menurut riwayat Ali r.a. dalam al Ihyadisebutkan bahwa ada 3 hal dapat menguatkan ingatan, yaitu: (1) Bersiwak; (2) Shaum; dan (3) Membaca al Qur’an.
Sebagai penutup hadits diatas, dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa sahabat yang baik adalah seperti penjual minyak kasturi. Meskipun tidak memiliki kasturi tetapi jika berdekatan dengannya akan mendapatkan wanginya. Sahabat yang buruk adalah seperti pandai besi, meskipun tidak terkena apinya tetapi jika berdekatan dengannya akan terkena asapnya. Karena itu sangat penting untuk diperhatikan siapakah sahabat dan teman bergaul kita
Hadits ke-7
عَن عُمَرَ بنِ الخَطٌاَبِ رَضَي اللٌهُ عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُولٌ اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلٌمَ اِنَ اللٌهَ يَرفَعُ بِهذَ االكتَاِبِ اَقَوامًا وَيَضَعُ بِه اخَرِينَ (رواه مسلم)
Dari Umar r.a berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Allah mengangakat derajat berapa kaum melalui kitab ini (al Qur’an) dan Dia merendahkan beberapa kaum lainnya melalui kitab ini pula.” (Hr. Muslim)
Barang siapa yang beriman dan beramal dengan al Qur’an, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya dan memuliakannya di dunia dan di akhirat. Dan siapa saja yang tidak beramal dengan al Qur’an, maka Allah pasti menghinakannya. Allah Swt. Menyatakan dalam al Qur’an,
...يُضل به كثيراً ويهدي به كتيراً....
“… dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan (dengan perumpamaan itu pula) banyak orang yang diberiNya petunjuk…” (Qs. Al Baqa-rah [2] : 26)
Firman lainya:
وننزل من القران ما هو شفا ء ور حمة للمو منين ولا يز يد الظلمين الا خسا را................؟
dan Kami turunkan dari al Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan al Qur’an itu tidak menambah bagi orang-orang yang zhalim selain kerugian.” (Qs. Al Isra [17]: 82) 
Ulama bahwa jika seseorang mulai membaca satu surat dalam al Qur’an, maka malaikat mulai memohonkan rahmat untuknya dan mereka akan terus dalam keadaan berdoa untuknya sampai ia selesai membacanya. Tetapi ada pula seseorang yang mulai membaca suatu surat dalam al Qur’an, namun malaikat mulai melaknatnya sampai ia selesai membacanya.
Menurut sebagian ulama, terkadang ada seseorang membaca al Qur’an tetapi tanpa disadari ia telah memohon laknat untuk dirinya sendiri terus menerus, misalnya ia membaca ayat al Qur’an yang berbunyi:
ألا لعنةُ الله علىَ الظَّالمينَ
“Ingatlah laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang zalim.”(Qs.Hud[11]:18)
Sementara ia sendiri berbuat zhalim, maka laknat Allah pun menimpanya.
Atau ayat lain yang berbunyi:
{ لعنة الله علي ا لكاذبين }.....
“laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang berdusta.” (Qs. Ali Imran [3]:61)
Sedangkan ia sendiri suka berdusta, maka ia pun terkena laknat itu.
Amir bin Watsilah r.a. menceritakan bahwa Umar r.a. telah mengangkat Nafi’ bn Abdul Haris sebagai walikota Makkah Mukharamah. Suatu ketika Umar bertanya kepada Nafi”, “Siapakah yang dijadikan Pengurus kawasan kawasan hutan?” “Ibnu Abza r.a., “jawab Nafi’. Umar r.a bertanya lagi, “Siapakah Ibnu Abza itu?” Nafi menjawab, “Ia adalah seorang hamba sahaya.” Umar r.a. bertanya, “Mengapa engkau mengangkat seorang hamba sahaya sebagai pengurus?” Nafi’ menjawab, “Ia adalah hamba sahaya yang senang membaca al Qur’an.” Mendengar jawaban itu, Umar r.a. langsung menyebutkan sabda Rasulullah saw., “Melalui al Qur’an, Allah menghinakan banyak orang dan mengangkat derajat banyak orang.”
Hadits ke-8
عَن عَبِد الَرحمنِ رَضَيِ اللٌهُ عَنهُ عَنِ الٌنِبيِ صَلَي اللٌهُ عَلَيهَ وَسَلَمَ ثَلآثُ تَحتَ العَرشِ يَومَ القَياَمةَ القُرانُ يُحَاجُّ العِبَادَ لَه ظَهرٌ وَبَطُنٌ وَالأمَاَنُةٌ وَالرَّحِمُ تُنَادِيُ ألآ مَنُ وَصَلَنيِ وَصَلَهُ اللٌهُ وَمَن قَطَعنيِ قَطَعَهً اللٌهُ. (روى في شرح السنة)
Dari Abdur Rahman bin Auf r.a. dari Nabi saw.. “Ada tiga hal yang akan berada di bawah naungan Arasy Ilahi pada hari kiamat: (1) al Qur’an yang akan membela hamba Allah dan ia mempunyai zhahir dan batin: (2) Amanat: dan (3) Silaturahmi yang akan berseru, “Ingatlah! Siapa yang menghubungkan aku, maka Allah menghubunginya, dan siapa yang memutuskan aku, maka Allah memutuskannya.” (Dikutib dari Kitab Syarhus Sunnah).
Maksud ‘tiga hal yang berbeda di bawah Arsy’ adalah sempurnanya kedekatan ketiga hal itu kepada Allah, yakni sangat dekat dengan Arsy Allah. 
Maksud ‘membela hamba Allah’ adalah orang yang memuliakan al Qur’an, menunaikan hak-haknya, dan mengamalkan isinya, maka al Qur’an pasti akan membelanya di hadapan Allah dan akan mensyafa’atinya serta meninggikan derajatnya.
Mulla Ali Qari rah.a. meriwayatkan dari Tirmidzi bahwa ahli al Qur’an kelak akan datang pada hari Kiamat. Lalu al Qur’an memohon kepada Allah, “Ya Allah, berilah ia pakaian!” maka di pakaikan mahkota kemuliaan kepada orang itu. Kemudian al Qur’an memohon lagi, “Ya Allah tambahkanlah untuknya!” maka dipakaikan kepadanya pakaian kemuliaan. Al Qur’an pun memperoleh ridha dari orang yang kita cintai di dunia ini, rasanya tidak ada kenikmatan yang lebih besar dari pada itu. Demikian juga di akhirat, kenikmatan manakah yang dapat mengalahkan ridha Allah, kekasih kita?
Sedangkan bagi orang yang tidak memenuhi hak-hak al Qur’an, maka al Qur’an akan menuntutnya, “apakah engkau telah memuliakan aku? Apakah engkau telah menunaikan hak-hakku?” dalam Syarah Ihya di nyatakan bahwa hak al Qur’an adalah di khatamkan dua kali dalam setahun. Maka mereka yang melalaikan al Qur’an hendaknya memikirkan masalah ini, yakni bagaimanakah kita menjawab tuntutan sekeras ini? Padahal maut itu pasti datang, dan tidak ada tempat untuk lari darinya.
Maksud al Qur’an memiliki zhahir dan batin’ ialah: zhahir al Qur’an yaitu makna al Qur’an yang dapat dipahami oleh semua orang. Sedangkan bati al Qur’an maksudnya adalah makna al Qur’an yang tidak dapat dipahami oleh semua orang. Mengenai hal ini, Rasulullah saw. Bersabda, “barang siapa mengemukakan pendapatnya sendiri tentang isi al Qur’an, maka ia telah melakukan kesalahan walaupun pendapatnya itu benar.” Ulama berpendapat bahwa maksud ‘zhahir al Qur’an’ adalah lafazh-lafazh al Qur’an yang dapat di baca oleh semua orang. Sedangkan batin al Qur’an adalah makna atau maksud al Qur’an yang dapat dipahami menurut keahlian masing-masing.
Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “jika kita ingin memperoleh ilmu, maka pikirkan dan renungkanlah makna-makna al Qur’an, karena di dalamnya terkandung ilmu orang-orang dahulu dan sekarang.” Namun untuk memahaminya, kita mesti menunaikan syarat dan adab-adabnya terlebih dahulu. Jangan seperti pada zaman sekarang ini. Hanya bermodalkan pengetahuan tentang beberapa lafazh bahasa Arab, bahkan sekedar melihat terjemahan al Qur’an, seseorang berani menafsirkan al Qur’an dengan pendapatnya sendiri.
Alim ulama berkata, “untuk dapat menafsirkan al Qur’an di perlukan keahlian dalam lima belas bidang ilmu.” Saya akan meringkas ke lima belas ilmu itu semata-mata agar diketahuai bahwa tidak mudah bagi setiap orang memahami makna batin al Qur’an ini.
1. Ilmu Lughat (filologi), yaitu ilmu untuk mengetahui arti setiap kata al Qur’an. Mujahid rah.a berkata, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka tidak layak baginya berkomentar tentang tentang ayat-ayat al Qur’an tanpa mengetahui ilmu lugat. Sedikit pengetahuan tentang lughat tidaklah cukup karena kadang kala satu kata mengandung berbagai arti. Jika hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Bisa jadi kata itu mempunyai arti dan maksud yang berbeda.
2. Ilmu Nahwu (tata bahasa). Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja I’rab hanya didapat dalam ilmu nahwu.
3. Ilmi Sharaf (perubahan bentuk kata). Mengetahui ilmu sharaf sangat penting, karena perubahan sedikit bentuk suatu kata akan mengubah maknanya. Ibnu Faris berkata, “jika seseorang tidak mempunyai ilmu sharaf, berarti ia telah kehilangan banyak hal.” Dalam Ujubatut Tafsir, Syaikh Zamakhsyari rah.a. menulis bahwa ada seseorang yang menerjemahkan ayat al Qur’an yang berbunyi:
{ يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ أُنَاسٍ بِامَامِهِم}
(ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya.” (Qs. Al Isra [17] : 71)
Karena ketidaktahuannya tentang ilmu Sharaf, ia menerjemahkan ayat itu seperti ini: “pada hari ketika manusia dipanggil dengan ibu-ibu mereka.” Ia mengira bahwa kata ‘imaam’ (pemimpin) yang merupakan bentuk mufrad(tunggal) adalah bentuk memahami ilmu sharaf, tidak mungkin akan mengartikan ‘imaam’ sebagai ibu-ibu.
4. Ilmu Isytiqaq (akar kata). Mengetahui ilmu isytiqaq sangatlah penting. Dengan ilmu ini dapat diketahui asal-usul kata. Ada beberapa kata yang berasal dari dua kata yang berbeda, sehingga berbeda makna. Seperti kata ‘masih’berasal dari kata ‘masah’ yang artinya menyentuh atau menggerakan tangan yang basah ke atas suatu benda, atau juga berasal dari kata ‘masahat’ yang berarti ukuran.
5. Ilmu Ma’ani. Ilmu ini sangat penting diketahui, karena dengan ilmu ini susunan kalimat dapat diketahui dengan melihat maknanya.
6. Ilmu Bayaan. Yaitu ilmu yang mempelajari makna kata yang zhahir dan yang tersembunyi, juga mempelajari kiasan serta permisalan kata.
7. Ilmu Badi’, yakni ilmu yang mempelajari keindahan bahasa. Ketiga bidang ilmu diatas juga disebutsebagai cabang ilmu balaghah yang sangat penting dimiliki oleh para ahli tafsir. Al Qur’an adalah mukjizat yang agung, maka dengan ilmu-ilmu diatas, kemukjizatan al Qur’an dapat diketahui.
8. Ilmu Qira’at. Ilmu ini sangat penting dipelajari, karena perbedaan bacaan dapat mengubah makna ayat. Ilmu ini membantu menentukan makna paling tepat diantara makna-makna suatu kata.
9. Ilmu Aqa’id. Ilmu yang sangat penting dipelajari ini mempelajari dasar-dasar keimanan. Kadangkala ada satu ayat yang arti zhahirnya tidak mungkin diperuntukkan bagi Allah Swt. Untuk memahaminya diperlukan takwil ayat itu, seperti ayat yang berbunyi:
{ يدق الله فوق إيديهم }
“tangan Allah diatas tangan mereka.” (Qs. Al Fath 48]:10)
10. Ushu1 Fiqih. Mempelajari ilmu ushul fiqih sangat penting, karena dengan ilmu ini kita dapat mengambil dalil dan menggali hokum dari suatu ayat.
11. Ilmu Asbabun-Nuzul. Yaitu ilmu untuk mengetahui sebab-sebab turunnya, maka maksud suatu ayat mudah dipahami. Karena kadangkala maksud suatu ayat itu bergantung pada asbabun nuzul-nya. 
12. Ilmu Nasikh Mansukh. Dengan ilmu ini dapat dipelajari suatu hukum yang sudah dihapus dan hukum yang masih tetap berlaku.
13. Ilmu Fiqih. Ilmu ini sangat penting dipelajari. Dengan menguasai hukum-hukum yang rinci akan mudah mengetahui hukum global.
14. Ilmu Hadits. Ilmu untuk mengetahui hadits-hadits yang menafsirkan ayat-ayat al Qur’an.
15. Ilmu Wahbi. Ilmu khusus yang diberikan kepada Allah kepada hamba-Nya yang istimewa, sebagaimana sabda Nabi saw.,
مَنْ عَمِلَ بِما عَلِمَ وَرَثَهُ الله عِلْمَ مَالَمْ يَعْلَمْ
“Barangsiapa mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang tidak ia ketahui”.
Juga sebagaimana disebutkan dalam riwayat, bahwa Ali r.a. pernah ditanya oleh seseorang, “Apakah Rasulullah telah memberimu suatu ilmu atau nasihat khusus yang tidak diberikan kepada orang lain?” maka ia menjawab, “Demi Allah, demi Yang menciptakan Surga dan Jiwa. Aku tidak memiliki sesuatu yang khusus kecuali pemahaman al Qur’an yang Allah berikan kepada hamba-Nya.” Ibnu Adi Dunya berkata, “Ilmu al Qur’an dan pengetahuan yang didapat darinya seperti lautan yang atk bertepi.”
Ilmu-ilmu yang telah diterangkan diatas adalah alat bagi para mufassir al Qur’an.
Seseorang yang tidak memiliki ilmu-ilmu tersebut lalu menafsirkan al Qur’an, berarti ia telah menafsirkan menurut pendapatnya sendiri, yang larangannya telah disebutkan dalam banyak hadits. Para sahabat telah memperoleh ilmu bahasa arab secara turun temurun, dan ilmu lainnya mereka dapatkan melalui cahaya Nubuwwah.
Imam Suyuthi rah.a. berkata, “Mungkin kalian berpendapat bahwa ilmu Wahbi itu berada diluar kemampuan manusia. Padahal tidak demikian, karena Allah sendiri telah menunjukan caranya, misalnya dengan mengamalkan ilmu yang dimiliki dan tidak mencintai dunia.”
Tertulis dalam Kimia’us Sa’aadah bahwa ada tiga orang yang tidak akan mampu menafsirkan al Qur’an: (1) Orang yang tidak memahami bahasa Arab; (2) Orang yang berbuat dosa besar atau ahli bid’ah, karena perbuatanitu akan membuat hatinya menjadi gelap dan menutupi pemahamannya terhadap al Qur’an; (3) Orang yang dalam Aqidahnya mengakui makna zhahir nash. Jika ia membaca ayat-ayat al Qur’an yang tidak sesuai dengan pikirannya (logikanya), maka ia akan gelisah. Orang seperti ini tidak akan mampu memahami al Qur’an dengan benar.
اللهمَّ أحْفظْنَا مِنْهُمْ
“Ya Allah, lindungilah kami dari mereka
Hadits ke-9 
عَن عَبدِ اللٌهِ بنِ عُمَرَ رَضَى اللٌهُ عَنُهمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَي اللٌه عَلَيِه وَسَلَمَ يُقَالُ لِصَاحِبِ القُرانِ اِقَرأ وَارتقٌ وَرَتٌلٌ كًما كُنتَ تُرًتٌلٍ فيِ الدُنيَا فَاِنٌ مَنزِلَكَ فيِ اخٍرِايَةُ تَقرَأهُا. (رواه أحمد والترمذي وأبو داوود والنسائي).
Dari Abdullah bin Umar r.huma. berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “(pada hari Kiamat kelak) akan diseur kepada ahli al Qur’an, ‘Bacalah dan teruslah naik, bacalah dengan tartil seperti yang engkau telah membaca dengan tartil di dunia, karena sesungguhnya tempatmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.” (Hr. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah, dan Ibnu Haban)
Maksud ‘ahli al Qur’an dalam hadits ini adalah hafizh al Qur’an. Mulla Ali Qari rah.a. menjelaskan bahwa keutamaan itu hanya diberikan kepada hafizh al Qur’an, tidak termasuk orang yang membaca al Qur’an dengan melihat nash. Alasannya adalah: pertama, karena lafazh itu memang ditujukan kepada ahli al Qur’an. Kedua, sesuai dengan hadits yang diriwayat oleh imam Ahmad,
حتَّى يقرا شيئاً منهُ
“…Sehingga ia membaca sesuatu yang bersamanya.
Kalimat ini cenderung ditujukan kepada hafizh al Qur’an, meskipun ada kemungkinan orang yang selalu membaca al Qur’an juga dapat termasuk di dalamnya.
Disebutkan didalam kitab Mirqaat bahwa hadits ini tidak berlaku bagi pembaca al Qur’an yang dilaknat oleh al Qur’an. Hal ini berdasarkan hadits yang menyebutkan bahwa banyak orang yang membaca al Qur’an, tetapi al Qur’an melaknatnya. Oleh sebab itu, banyaknya membaca al Qur’an yang dilakukan oleh orang yang aqidahnya menyimpang tidaklah dapat dijadikan dalil (bukti) bahwa ia adalah orang yang diterima disisi Allah. Banyak hadits semacam ini yang membicarakan tentang kaum Khawarij.
Mengenai ‘tartil’, Syaikh Abdul Aziz (nawwarullaahu marqadahu) menulis di dalam tafsirnya bahwa arti asal ‘tartil’adalah membaca dengan terang dan jelas. Sedangkan artinya menurut syar’I adalah membaca al Qur’an dengan tertib seperti dibawah ini:
1. Setiap huruf harus diucapkan dengan makhraj yang benar, sehingga ط tha’ tidak dibaca تَta’ danضَ dha tidak dibacaظzha.
2. Berhenti pada tempat yang benar, sehingga ketika memutuskan atau melanjutkan bacaan tidak dilakukan ditempat yang salah.
3. Membaca semua harakat dengan benar, yakni menyebut fathah, kasrah dan dhammah dengan perbedaan yang jelas.
4. Mengeraskan suara sampai terdengar oleh telinga kita, sehingga al Qur’an dapat mempengaruhi hati.
5. Memperindah suara agar timbul rasa takut kepada Allah, sehingga mempercepat pengaruh kedalam hati. Orang yang membaca dengan rasa takut kepada Allah, hatinya akan lebih cepat tepengaruh serta menguatkan nurani dan menimbulkan kesan yang mendalam di hati kita. Menurut para ahli pengobatan, jika ingin obat lebih cepet berpengaruh kehati, sebaiknya obat itu dicampur dengan wewangian. Obat dapat lebih cepat berpengaruh ke lever jika dicampur rasa manis, karena lever mempunyai rasa manis. Oleh sebab itu saya berpendapat, jika seseorang memakai wewangian saat membaca al Qur’an, akan lebih menguatkan kesan dalam hatinya.
6. Membaca dengan sempurna dan jelas setiap tasydid dan madnya. Jika membaca dengan lebih jelas, maka akan menimbulkan keagungan Allah serta mempercepat masuknya kesan dalam hati kita.
7. Memenuhi hak ayat-ayat rahmat dan ayat-ayat adzab, seperti yang telah diterangkan sebelunnya.
Itulah tujuh hal yang dimaksud tartil. Dan tujuan semua itu adalah satu, yaitu agar dapat memahami dan meresapi isi kandungan al Qur’an.
Seseorang bertanya kepada Ummul Mu’minin, Ummu Salamah r.ha., “Bagaimanakah Rasulullah saw. membaca al Qur’an?” Ia menjawab, “Beliau menunaikan setiap harakatnya; fathah, dhammah, dan kasrah dibaca dengan sangat jelas. Juga setiap hurufnya dibaca dengan sangat jelas. Juga setiap hurufnya dibaca dengan terang dan jelas.”
Membaca dengan tartil itu mustahab, walaupun tidak dipahami artinya. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Membaca surat al Qari’ah dan Idzaa zulzilat dengan tartil lebih baik bagiku daripada membaca al Qur’an al Baqarah atau Ali Imran tanpa tartil.”
Alim ulama menjelaskan maksud hadits di atas, bahwa membaca al Qur’an huruf demi huruf akan menaikan pembacanya setingkat demmi setingkat, sehingga itu pula derajatnya di surge nanti. Dan orang yang terpandai dalam al Qur’an, dialah yang tertinggi derajatnya. Mulla Ali Qari rah.a. menulis bahwa tidak ada derajat yang lebih tinggi daripada derajat orang yang suka membaca al Qur’an. Pembaca al Qur’an senantiasa meningkat derajatnya sesuai dengan taraf kebagusan bacaannya.
Allamah Dani rah.a. berkata, “Alim ulama telah sepakat bahwa ada enam ribu ayat lebih dalam al Qur’an, namun mereka berbeda pendapat tentang jumlah selebihnya. Ada yang menyebutkan 6.204 ayat, 6.014 ayat, 6.019 ayat, 6.025 ayat, dan 6.036 ayat.
Dalam Syarah Ihya ditulis bahwa jumlah ayat al Qur’an itu sesuai dengan tingkat surga, sehingga dikatakan kepada pembaca al Qur’an, “Naiklah ke surga tingkat demi tingkat sebanyak ayat al Qur’an yang telah kamu baca”. Barangsiapa yang membaca seluruh ayat al Qur’an, maka ia akan mencapai derajat surge yang tertinggi di akhirat. Dan barangsiapa yang membacanya sebagian saja, maka derajat sebatas bacaannya itu saja. Singkatnya, batas ketinggian derajat seseorang bergantung kepada banyaknya bacaan Qur’annya.
Menurut pendapat saya, hadits diatas juga mengandung penafsiran lain.
فَانْ كان صَوَاباً فَمِنَ الله وَاِن كان خَطأً فَمِني وَمِنَ الشّيطانِ وَاللهُ وَرَسُوْلهُ بَريئانِ
Apabila (penafsiran saya) betul, maka ia berasal dari Allah. Dan jika salah, maka ia berasal dari diri saya sendiri dan dari syetan. Sedang Allah dan Rasul-Nya terbebas darinya.
Kenaikan derajat yang disebutkan dalam hadits diatas bukan bermaksud bahwa membaca suatu ayat al Qur’an akan dinaikan suatu derajat. Sebab jika demikian, hubungan antara membaca dengan tartil dan tanpa tartil tidak dapat dimengerti, sehingga akan dipahami bahwa setiap membaca satu ayat al Qur’an, baik dengan tartil ataupun tidak, maka derajatnya dinaikan satu tingkat. Sebenarnya hadits ini mengisyaratkan satu peningkatan yang berbeda, yaitu peningkatan menurut cara membacanya, sehingga ada perbedaan antara bacaan dengan tartil dan tanpa tartil. Oleh sebab itu, barangsiapa membaca al Qur’an dengan tartil ketika di dunia ini, dengan tartil itulah ia akan membacanya di akhirat., sehingga ia memperoleh ketinggian derajat yang sesuai. Mulla Ali Qari rah.a.meriwayatkan sebuah hadits, “Barangsiapa sering membaca al Qur’an di dunia, maka di akhirat nanti ia akan dapat mengingatnya. Dan jika di dunia ia tidak membacanya, maka ia tidak akan dapat mengingatnya di akhirat.” Semoga Allah memberikan kemurahan-Nya kepada kita.
Banyak diantara orang tua yang bersemangat agar anak-anaknya menghafal al Qur’an, namun karena ketidaktawajuhan dan kesibukan dunia, hafalan itu terlupakan dan menjadi sia-sia. Padahal di sisi lain, beberapa hadits menyebutkan bahwa barangsiapa berusaha menghafal al Qur’an dengan sungguh-sungguh dan bersusah payah, lalu ia meninggal dunia, maka Allah akan membangkitkannya dalam golongan para huffazh. Kemurahan Allah sungguh tidak berkurang jika kita berusaha memperolehnya. Seorang penyair berkata,
“Wahai syahid, kemurahan-Nya untuk semua. Engkau tidak akan menolak kemurahan ini, jika engkau benar-benar pantas.
Hadits ke-10 
عَن ابنِ مَسعُودٍ رَضيَ اللٌهُ عَنهُ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَى اللٌهُ عَلَي وَسَلَمَ مَن قَرَأ حَرفًا مٍن كَتَابِ اللٌه فَلَه بِه حَسَنَةُ وَالحَسَنَةُ عَشُرُ اَمُثَالِهَا لآ اَقُولُ الم حَرفُ وَلكِنُ اَلِفُ وَلآمُ حَرفُ وَميمُ حــَرُفُ. (رواه الترمذي وقال هذا حديث حسن صحيح غريب اسنادا والدارمى)
Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “barangsiapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka baginya satu hasanah (kebaikan) dan satu hasanah itu sama dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” (Hr. Tirmidzi).
Maksudnya, bahwa dalam amal ibadah lain, sesuatu ibadah itu baru dihitung sebagai satu amalan jika dilakukan secara utuh (keseluruhan). Tetapi tidak demikian dengan amalan membaca al Qur’an. Setiap bagiannya akan dinilai sebagai satu amalan, sehingag membaca satu huruf pun tergolong satu hasanah (kebaikan). Dan bagi setiap satu kebaikan itu Allah berjanji akan melipatkannya hingga sepuluh kali, sebagaimana firman-Nya,
مَنْ جاء بالحسنة فلهُ عَشْرُ أمْثَالهِا......
Barangsiapa membawa amalan baik, maka untuknya (pahala) sepuluh kali lipat amalannya…”(Qs. Al An’am [6] :160)
Walau bagaimanapun, tambahan sepuluh kali lipat ini adalah yang terendah, karena Allah swt. mampu melipatgandakan pahala dengan sekehendak-Nya,
والله يضاعف لمن يشاءُ....
“…..Allah menggandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki….” (Qs. Al Baqarah [2] : 261)
Permisalan bahwa setiap huruf al Qur’an dinilai satu kebaikan telah disabdakan oleh Rasulullah saw. bahwa alif lam mim bukanlah satu huruf, tetapi alif terpisah, lam terpisah, dan mim terpisah, sehingga alif lam mim berisi tiga puluh kebaikan. Disini terdapat perselisihan apakah yang dimaksud adalah alif lam mim permulaan surat al Baqarah atau permulaan surat al Fiil? Jika yang dimaksud adalah alif lam mim permulaan al Baqarah, berarti hitungannya menurut jumlah huruf yang tertulis. Karena yang tertulis hanya tiga huruf, maka pahalanya tiga puluh. Dan jika yang dimaksud adalah alif lam mim permulaan surat al Fiil, berarti alif lam mim pada surat al Baqarah itu Sembilan huruf (dengan menghitung jumlah huruf yang dilafazhkan), sehingga menjadi Sembilan puluh pahala. Baihaqi meriwayatkan, “Aku tidak mengatakan bahwa bismillah itu satu huruf, tetapi ba, sin, mim, dst. adalah huruf-huruf yang terpisah.” 
Hadits ke _11 
عَن مُعَاذِنِ الجُهَنِيِ رَضَي اللٌهُ عَنَهُ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌه صَلَي اللٌهَ عَلَيهِ وَسَلَمَ مَنَ قَرَأ القُرانَ وَعَمِلَ بِمَافِيهِ اُلُبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَومَ القَيِامَةِ ضَووُهَ اَحسَنُ مِنُ ضَوءِ الشٌمسِ فيِ بُيُوُتِ الدٌنَيا فَمَا ظَنٌكُم بِالَذِيُ عَمِلَ بِهذَا (رواه احمد وابو داوود ووصححه الحاكم)

Dari Mu’adz al Juharni r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “barangsiapa membaca al Qur’an dan mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya, maka kedua orang tuanya akan dipakaikan mahkota pada hari Kiamat yang cahayanya lebih terang daripada cahaya matahari seandainya berada dirumah-rumah kalian di dunia ini. Maka bagaimana menurut perkiraan kalian mengenai orang yang mengamalkannya?” (Hr. Ahmad dan Abu Dawud)
Berkah dari membaca dan mengamalkan al Qur’an adalah orang tua si pembaca akan dipakaikan mahkota pada hari kiamat yang cahayanya melebihi cahaya matahari seandainya matahari itu berada didalam rumah kita. Matahari yang jaraknya jauh saja begitu terang sinarnya. Apalagi jika matahari itu berada di dalam rumah, tentu akan lebih terang dan berkilauan. Namun cahaya mahkota bagi orang tua si pembaca al Qur’an dan mengamalkan isinya akan lebih terang daripada sinar matahari yang berada di dalam rumah. Jika orang tua si pembaca al Qur’an saja akan mendapatkan pahala demikian tinggi, maka tidak dapat kita bayangkan ketinggian pahala bagi si pembacanya itu sendiri? Apabila orang yang menjadi perantara saja demikian tinggi derajatnya, apalagi orang yang melakukannya sendiri, tentu akan memperoleh derajat yang lebih tinggi lagi. Orang tuanya mendapatkan pahala tersebut karena dialah yang telah melahirkannya dan mendidiknya.
Adanya matahari di rumah dalam hadits diatas menunjukan maksud yang sangat halus; bahwa seandainya matahari itu dekat, tentu cahayanya semakin terasa. Dan setiap sesuatu yang selalu ada didekat kita akan menumbuhkan kecintaan yang mendalam terhadapnya. Matahari, karena jauh jaraknya menjadi asing bagi kita. Namun jika setiap saat selalu didekat kita, timbullah keakraban dan kecintaan. Oleh sebab itu, selain ada isyarat keutamaan cahaya mahkota juga ada isyarat tentang kecintaan. Setiap orang mendapatkan manfaat sinar matahari, namun jika manfaat itu diberikan kepada seseorang, tentulah hal itu merupakan kebanggaan bagi pemberinya.
Hakim meriwayatkan dari Buraidah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang membaca al Qur’an dan mengamalkannya, maka akan dipakaikan kepadanya sebuah mahkota yang terbuat dari nur (cahaya). Dan kedua orang tuanya akan dipakaikan dua pasang pakaian yang sangat indah tiada bandingnya di dunia ini. Orang tuanya akan bertanya kepada Allah, “Ya Allah, mengapa kami diperlakukan seperti ini?” Allah menjawab, “Ini adalah pahala bacaan al Qur’an anakmu.”
Dalam kitab Jam’u1 Fawa’id terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Anas r.a. bahwa Rasulullahsaw. bersabda, “Barangsiapa mengajarkan anaknya membaca al Qur’an, maka dosa-dosanya yang akan datang dan yang telah lalu akan diampuni. Dan barangsiapa mengajarkan al Qur’an pada anaknya sehingga menjadi hafizh al Qur’an, maka pada hari Kaimat ia akan dibangkitkan dengan wajah yang bercahaya seperti cahaya bulan purnama, dan dikatakan kepada anaknya, “Mulailah membaca al Qur’an!” Ketika anaknya mulai membaca satu ayat al Qur’an, maka ayahnya dinaikkan satu derajat, demikian terus ditinggikan derajatnya hingga tamat bacaannya.”
Demikian keutamaan bagi orang tua yang mengajari anaknya membaca al Qur’an. Jika Anda menjauhkan anak Anda dari agama hanya karena beberapa rupiah, maka bukan saja diri Anda yang akan terhalang dari pahala, tetapi Anda juga harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Allah. Apakah karena Anda takut jika menjadi seorang ustadz atau hafizh, kelak hanya akan menjadi seorang penjaga masjid yang hidupnya bergantung pada orang lain, sehingga Anda melarang anak Anda belajar agama? Ingatlah! Jika demikian, berarti Anda telah melemparkan anak Anda kedalam penderitaan yang selama-lamanya. Bahkan Anda juga menanggung beban tanggung jawab yang sangat besar. Sebuah hadits menyebutkan:
كُلُّكُمْ راع وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِه.
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan ditanya tentang kepemimpinannya.”
Setiap orang akan ditanya, sejauhmana ia telah mengajarkan agama? Memang sangat penting menjauhkan diri dari aib-aib itu, tetapi tidak mau berpakaian hanya karena takut kutu busuk sangatlah tidak masuk akal. Justru kita harus menjaga kebersihan pakaian itu. Demikian pula jika Anda mengajarkan agama kepada anak Anda, maka kelak Anda akan terbebas dari tuntutan, dan selama anak Anda masih hidup, seluruh amal baiknya dan doa-doa ampunan yang ia mohonkan untuk Anda,semua itu akan menyebabkan derajat Anda dinaikkan. Sebaliknya, jika hanya karena rakus mencari beberapa rupiah sehingga Anda mengorbankan pendidikan agama anak-anak Anda, maka kelak selain Anda akan menanggung akibatnya, Anda juga tidak bisa lepas dari tanggung jawab atas kefasikan dan kejahatan mereka. Sedangkan catatan amal Anda tidak akan kosong begitu saja dari simpanan azab di akhirat. 
Hadits ke-12
عَن عُقَبةَ بنِ عَامرٍ رَضَي اللٌهُ عَنهُ قَالَ : سَمِعتُ رَسُولَ اللٌهِ صَلَى اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ يَقُولُ لَوجُعِلَ القُرانُ فيِ اِهَابٍ ثُمٌ اُلقُيِ فيِ النَارِ مَا احتَرَقَ .(رواه الدارمي).
Dari Uqbah bin Amir r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika al Qur’an dijadikan kedalam kulit kemudian dilemparkan kedalam api, niscaya tidak akan terbakar.” (Hr. Darami)
Ada dua pendapat dari para ahli hadits mengenai maksud hadits diatas. Sebagian berpendapat bahwa kulit yang yang dimaksud adalah kulit secara umum, yaitu kulit-kulit binatang. Dan api adalah api dunia ini. Hal menunjukan mukjizat khusus pada zaman Nabi saw. sebagaimana mukjizat para Nabi a.s. terdahulu.
Sebagian lagi berpendapat bahwa maksud kulit adalah kulit manusia, dan maksud api adalah api neraka. Menurut pemahaman ini, maka hadits diatas berlaku secara umum, tidak terbatas pada waktu tertentu. Jadi, jika seorang hafizh al Qur’an disebabkan dosa-dosanya dilemparkan ke neraka, maka api neraka tidak akan membakarnya. Riwayat lain menyebutkan bahwa api neraka menyentuhnya pun tidak. Dalam Syarhus Aunnah, Mulla Ali Qari rah.a.mengutip sebuah riwayat dari Abu Umamah r.a. yang memperkuat hadits diatas yaitu, “Selalulah menghafal al Qur’an, karena Allah tidak akan menyiksa hati yang menyimpan al Qur’an.”
Hadits ini sangat jelas dan merupakan suatu ketentuan. Oleh sebab itu, mereka yang menganggap bahwa menghafal al Qur’an adalah sia-sia, maka demi Allah, hendaknya mereka merenungkan fadhilah menghafal al Qur’an dalam hadits ini. Satu fadhilah ini saja sudah cukup bagi seseorang untuk menyerahkan jiwa raganya demi menghafal al Qur’an, karena siapakah orang yang tidak berdosa dan siapakah yang dapat memastikan bahwa ia akan terhindar dari neraka?
Dalam Syarh Ihya telah disebutkan daftar orang yang akan berada dibawah lindungan Allah Swt. pada hari Kiamat ketika seluruh manusia dalam keadaan panic, yaitu dalam hadits yang diriwayatkan oleh Dailami dari Ali r.a., bahwa pembawa al Qur’an, yakni para hafizh al Qur’an, akan berada dibawah lindungan Allah bersama para Nabi dan shalihin.
Hadits ke_13 
عَن عَلِيٍ رَضَي اللٌهُ عَنهُ وَ كَرٌمَ اللٌهُ وَجهَة قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌيُ اللٌهُ عَلَيهَ وَسَلَمَ مَن قَرأ القُرانَ فَاستَظهَرَه فَحَلٌ حَلآلَه وَحَرٌمَ حَرَامَهُ اَدخَلَهُ اللٌهُ الجَنٌةَ وَشَفٌعَه فيِ عَشَرةَ مِن اَهلِ بَيِته كُلٌهٌم قَد وَجبت لَهُ النٌارُ.(رواه أحمد والترمذي وقال هذا حديث غريب وحفص بن سليمان الراوي ليس هو بالتقوى يضعف في الحديث ورواه أبن ماجه والدارمي).
Dari Ali karramallaahu wajhah, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membaca al Qur’an dan menghafalnya, lalu menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya, maka Allah Swt. akan memasukannya ke dalam Surga dan allah menjaminnya untuk member syafaat kepada sepuluh orang keluarganya yang kesemuanya telah diwajibkan masuk neraka.” (Hr. Ahmad dan Tirmidzi)
Setiap mu’min insya Allah akan masuk surge, meskipun ada yang harus dibersihkan dulu denga azab disebabkan dosa-dosanya. Namun bagi hafizh al Qur’an, ia memiliki keutamaan masuk Surga pertama kali. Bahkan seorang hafizh al Qur’an dapat member syafaat kepada sepuluh orang yang fasik dan banyak berbuat dosa besar, tetapi orang kafir tidak akan memperoleh syafaat itu. Allah berfirman:
{إنهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عليهِ الجنَّةَ وَمَآواهُ النَّارُ وَمَا للظَّالِميْنَ مَنْ أنْصَارٍ}
“Sesungguhnya orang yang menyekutukan Allah (dengan sesuatu), maka telah Allah haramkan baginya Surga dan tempatnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” (al Maidah [5] : 72)
Firman-Nya yang lain:
{مَا كانَ لِلنَّبِيِ وَالذِيْنَ أمنُوآ أنْ يَّسْتَغْفِرُوا للِمُشْركِيْنَ}
“Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik.” (Qs. At Taubah [9] :113)
Dalil-dalil diatas dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada ampunan bagi kaum musyrikin, sehingga syafaat seorang hafizh hanya terbatas bagi kaum muslimin yang harus masuk neraka karena dosa-dosa mereka. Oleh sebab itu, barangsiapa ingin selamat dari api neraka, sedangkan ia bukan seorang hafizh dan tidak mampu menjadi seorang hafizh, maka sekurang-kurangnya hendaklah ia berusaha menjadikan salah seorang diantara keluarganya atau kerabatnya hafizh al Qur’an. Disamping itu, ia sendiri harus selalu berusaha menjauhi segala dosa sehingga terhindar dari azab.
Syukur kepada Allah atas nikmat-Nya kepada orang ini (Syaikh Zakariya, penyusun kitab ini –pent.)yang telah menjadikan ayahnya, pamannya, nenek dan kakeknya, ibunya, dan seluruh ahli keluarganya sebagai hafizh-hafizh alQuran. Semoga Allah menambah rahmah-Nya lebih banyak lagi. Allah 
Hadits ke-14
عَنْ اَبيِ هُرَيْرةَ رَضِيَ اللهُ عنهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صلى الله عليهِ وَسَلَّمَ تَعَلَّموا القرآنَ فأقرؤهُ فاِنَّ مَثَلَ القُرآنِ لمِنْ تَعَلمَ فَقَرأ وَقَامَ بِهِ كَمَثلِ جِرابٍ مَحْشُوٍّ مِسْكاً تَفُوْحُ رِيْحُهُ كُلَّ مَكَانٍ وَمَثَلُ مَنْ تَعَلَّمَهُ فَرَقَدَ وَهُوَ فيِ جَوفِه كَمَثلِ جِرابِ اُوْكيَ على مِسْكٍ. (رواه الترمذي والنسائي وابن ماجه وابن حبان)

Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pelajarilah al Qur’an dan bacalah ia, karena sesungguhnya perumpamaan al Qur’an bagi orang yang mempelajarinya, lalu membacanya dan mengamalkanny adalah seperti sebuah wadah terbuka yang penuh dengan kasturi, wanginya semerbak menyebar keseluruh tempat. Dan perumpamaan orang yang belajar al Qur’an, tetapi ia tidur sementara al Qur’an berada di dalam hatinya adalah seperti sebuah wadah ayng penuh dengan kasturi tetapi tertutup.”(Hr. Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban)
Apabila seseorang belajar al Qur’an dan menghafalnya, kemudian terus menerus membacanya dalam shalat tahajjud, maka keadaannya bagai botol kasturi yang terbuka tutupnya sehingga semerbak harumnya memenuhi rumah itu. Dalam keadaan yang sama, seluruh rumah juga akan dipenuhi dengan nur dan keberkahan disebabkan bacaan al Qur’an seorang hafizh. Apabila seorang hafizh itu tidur dan tidak membaca al Qur’an karena lalai, maka al Qur’an yang ada didalam hatinya masih tetap semerbak bagaikan kasturi. Tetapi karena kelalaiannya, nur dan keberkahan itu akan terhalang dan tidak menyebar kepada orang lain. Meskipun demikian, dalam hatinya masih terdapat kasturi dari al Qur’an. 
Hadits ke-15 
عَن ابِي عَبٌاسٍ رَضَيِ اللٌهُ عَنُهمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَيِ اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ اِنَ الٌذِي لَيسَ فيِ جَوفِه شَي مِنَ القُرانِ كَالَبيتِ الخَرِبِ. (رواه الترمذي وقال هذا حديث صحيح ورواه الدارمي والحاكم وصححه)
Dari Abdullah bin Abbas r. huma. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang yang tida ada sedikitpun al Qur’an dalam hatinya adalah seperti rumah kosong.” (Hr. Tirmidzi)
Perumpamaan rumah kosong itu mengandung maksud yang halus, sebagaimana ungkapan peribahasa, “Otak manusia yang tidak bekerja adalah tempat syetan bekerja.” Demikian juga hati yang kosong dari kalamullah akan banyak dipengaruhi oleh syetan. Hadits diatas menyatakan betapa penting menghafal al Qur’an, sehingga hati yang tidak menyimpan kalamullah telah diumpamakan seperti rumah kosong. Abu Hurairah r.a. berkata, “Rumah yang didalamnya terdapat bacaan al Qur’an, maka keluarga serta kerabatnya akan bertambah dan keberkahan serta kebaikan akan memenuhi ahli rumah tersebut. Malaikat akan turun memenuhi rumah itu, dan syetan akan keluar darinya. Sebaliknya rumah yang tidak dibacakan al Qur’an, maka akan diliputi oleh kesempitan dan ketidakberkahan, malaikat akan keluar dari rumah itu, dan syetan akan memenuhi rumah itu.”

Hadits ke-16 
عَن عَائِشَةَ رَضي اللٌهُ عَنُهَا اَنٌ النٌبِيَ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهَ وَسَلَمَ قَالَ قَرِاءَةُ القُرانِ فيِ الصَلآةِ اَفضَلُ مِن قِرَاءَةِ القُرآنِ فيِ غَيرِ الصَلآةِ وَقَرِاءَةُ القُرانِ فيِ غَيرِ الصَلآةِ اَفضَلُ مِنَ الٌتَسبِيحِ وَ التٌكبِيرِ وَ التٌسبِيحُ اَفضَلُ مِنَ الصَدَقَةَ وَ الصٌدَقَةُ اَفضَلُ مِنَ الصَومِ وَالصٌوَمُ جُنٌةٌ مِنَ النٌاَرِ . (رواه البيهقي في شعب الإيمان)
Dari Aisyah r.ha. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Membaca al Qur’an di dalam shalat lebih utama daripada membaca al Qur’an di luar shalat, membaca al Qur’an diluar shalat lebih utama daripada tasbih dan takbir, tasbih lebih utama daripada sedekah, sedekah lebih utama daripada shaum, dan shaum adalah perisai dari api neraka.” (Hr. Baihaqi- Syu’abul Iman)
Jelaslah, bahwa membaca al Qur’an itu lebih baik daripada dzikir, sebab al Qur’an adalah kallamullah. Telah disebutkan sebelumnya bahwa keutamaan kalamullah dibandingkan kalam yang lain adalah seumpama keutamaan Allah diatas seluruh makhluk-Nya. Mengenai keutamaan dzikir daripada sedekah juga telah disebutkan dalam hadits lain. Tetapi keutamaan sedekah daripada shaum dalam hadits diatas seolah-olah bertentangan dengan hadits-hadits mengenai keutamaan shaum. Perbedaan ini adalah bergantung pada keadaan tertentu. Pada sebagian keadaan, shaum dapat lebih utama daripada sedekah atau sebaliknya. Juga bergantung pada perbedaan kondisi seseorang, karena boleh jadi bagi sebagian orang, shaum itu lebih utama.
Dalam hadits di atas shaum disebutkan pada urutan terakhir dibanding amal-amal lainnya. Apabila shaum saja dapat menjadi penghalang api neraka, maka bagaimanakah dengan tilawat al Qur’an yang ditempatkan pada urutan pertama?
Pengarang kitab Ihya meriwayatkan dari Ali r.a. bahwa jika seseorang membaca al Qur’an dalam shalat sambil berdiri, maka setiap hurufnya berpahala seratus kebaikan; jika pembacanya dalam shalat sambil duduk, maka dari setiap hurufnya mendapat lima puluh kebaikan; jika membacanya diluar shalat dalam keadaan berwudhu, maka dari setiap hurufnya berpahala dua puluh lima kebaikan; jika membacanya tanpa wudhu, maka dari setiap hurufnya sepuluh kebaikan; dan jika seseorang tidak membaca al Qur’an orang lain dengan tawajuh, maka dari setiap huruf yang didengarkanya berpala satu kebaika

HadiS-17
عَن اَبِي هُرَيرَةَ رَضيِ اللٌهُ عَنهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلُي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلَمَ اَيحُبُ اَحَدُكُم اِذَا رضجَعَ اِلي اَهلِه اَن يَجدَفِهِ ثَلآثَ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانِ قُلنَا نَعَم قَالَ فَثَلآثُ ايَاتٍ يَقُراُبِهِنٌ اَحَدُكُو فِي صَلآته خَيرٌلَه مِن ثَلآثِ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ. (رواه مسلم).
Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bertanya kepada kami, “Sukakah salah seorang diantara kalian apabila kembali ke rumahnya mendapati tiga ekor unta betina yang hamil dan gemuk.” Kami menjawab, “Tentu kami menyukainya.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Tiga potong ayat yang kamu baca dalam shalat adalah lebih utama daripada tiga ekor unta betina yang hamil dan gemuk.” (Hr. Muslim)
Inti hadits ini sama dengan hadits ke-3 yang lalu. Hadits ini kembali menegaskan bahwa al Qur’an yang dibaca ketika shalat adalah lebih baik daripada yang dibaca di luar shalat, sehingga hal itu dibandingkan dengan unta betina yang hamil, karena padanya tedapat dua hal, yaitu: unta betina kehamilannya, sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam hadits ke-3 tentang dua macam ibadah, yaitu: shalat dan tilawah. Hadits seperti ini sekadar perbandingan, karena walau bagaimanapun pahala membaca satu ayat al Qur’an pasti lebih utama daripada ribuan unta betina yang bersifat fana.
Hadits ke-18
عَن عُثمَانَ بنِ عَبدِ اللٌهِ بنِ اَوسِ الثٌقَفيِ رَضَيِ اللٌهُ عَنهُ عَن جَدٌهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَي اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ قِراَءةُ الٌرَجُلِ القُرانَ فيِ غَيرش الُصحَفِ ألفُ دَرَجَةٍ وَقِرَاَءتُه فيِ الصُحَفِ تَضُعَفُ عَلى ذَالِكَ اِل ألفَي دَرَجَةٍ. (رواه البيهقي في شعب الإيمان)
Dari Utsman bin Abdullah bin Aus ats Tsaqafi r.a. dari kakeknya, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Bacaan al Qur’an seseorang tanpa melihat mushaf adalah seribu derajat (pahalanya), dan bacaannya dengan melihat mushaf adalah dilipatkan sampai dua ribu derajat.” (Hr. Baihaqi-Syu’abul Iman)
Berbagai keutamaan menghafal al Qur’an telah dijelaskan sebelumnya. Dan hadits diatas adalah menyebutkan tentang keutamaan membaca al Qur’an dengan melihat. Membaca al Qur’an dengan melihat mushaf al Qur’an, selain menambah konsentrasi dan pemikiran, masih banyak lagi keutamaannya dari segala ibadah, seperti al Qur’an, memegang al Qur’an dan sebagainya. Oleh karena itulah dikatakan bahwa membaca al Qur’an dengan melihat mushaf adalah lebih utama.
Pernyataan hadits diatas adalah menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan alim ulama. Manakah yang lebih utama, orang yang membaca al Qur’an dengan hafalan atau yang membacanya dengan melihat mushaf? Berdasarkan hadits diatas, sebagian ulama berpendapat bahwa membaca al Qur’an dengan melihat mushaf adalah lebih utama, karena mata akan selalu melihat al Qur’an, sehingga terhindar dari kesalahan dalam pembacaan. Sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa membaca al Qur’an melalui hafalan itu lebih utama, karena akan lebih khusyu’ dan dapat terhindar dari sifat riya, dan itu adalah kebiasaan Rasulullah saw… Imam Nawawi rah.a.menyatakan kedua-duanya adalah baik dan ulama, bergantung pada keadaan si pembaca. Sebagian orang ada yang lebih konsentrasi jika membacanya dengan melihat mushaf, dan sebagian lainnya merasa lebih konsentrasi jika membacanya dengan hafalan. Hafizh Ibnu Hajar rah.a. menulis dalam Fathul-Bari bahwa penjelasan itulah yang dia setujui.
Diceritakan bahwa karena begitu seringnya Utsman r.a. membaca al Qur’an, maka dua mushaf al Qur’an telah sobek. Amr bin Maimun meriwayatkan dalam Syarh Ihya bahwa seseorang yang membuka al Qur’an setelah shalat Shubuh dan membacanya seratus ayat, maka akan ditulis baginya pahala seisi dunia ini. Disebutkan juga bahwa membaca al Qur’an dengan melihat mushaf sangat bermanfaat bagi penglihatan. Diriwayatkan dari Abu Ubaidah r.a. sebuah haditsmusalsal yang setiap perawinya berkata bahwa mereka mengalami gangguan penglihatan. Lalu guru-guru mereka menasihati agar selalu membaca al Qur’an dengan melihatnya.
Hadits ke-19 
عَنِ ابن عُمَرَ رَضَيِ اللٌهُ عَنهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَيِ عَلَيهِ وَسَلٌمَ اِنٌ هذِهِ القُلُوبَ تَصدَأ الحَدِيدُ اِذَا أصَابَهُ المَاءُ، قِيلَ يَارَسُولَ اللٌهِ وَمَا جِلآوُهَا ؟ قَالَ كَثُرَةُ ذِكرِ الَموتِ وَتلآوَةُ القُرانِ. (رواه البيهقي في شعب الإيمان) 
Dari Abdullah bin Umar r. huma. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya hati ini dapat berkarat sebagaimana berkaratnya besi bila terkena air.” Beliau ditanya “Wahai Rasulullah, bagaimana cara membersihkannya?” Rasulullah saw. bersabda, “Memperbanyak mengingat maut dan membaca al Qur’an.”(Hr. Baihaqi)
Banyak berbuat dosa dan lalai dari dzikrullah menyebabkan hati berkarat seperti berkaratnya besi bila terkrna air. Dengan memperbanyak membaca al Qur’an dan mengingat maut, hati akan menjadi bersinar kembali. Hati itu bagaikan cermin, semakin kotor cermin itu maka semakin redup sinar ma’rifat yang dipantulkannya. Sebaliknya, semakin bersih cermin itu, semakin terang pantulan sinar ma’rifatnya. Oleh karena itu, barangsiapa terperosok kedalam godaan nafsu maksiat dan tipu daya syetan, maka akan terjauhlah dari ma’rifatullah. Untuk membersihkan hati yang kotor, para ulama suluk (tasawuf) menganjurkan agar melakukan mujahadah dalam riyadhah, dzikrullah,dan beribadah.
Disebutkan dalam beberapa hadits bahwa ika seseorang hamba berbuat dosa, maka muncullah satu titik hitam di hatinya. Jika ia sungguh-sungguh bertaubat, maka akan muncul titik hitam lainnya, dan demikianlah seterusnya. Jika dosa yang telah dilakukannya begitu banyak, maka hati akan menjadi hitam sehingga hilangnya keinginannya terhadap kebaikan. Bahkan hati selalu condong ke arah kejahatan. Semoga Allah menjaga diri kita dari hal yang demikian. Al Qur’an telah menyebutkan tentang hal ini dalam ayat: “Sekali-kali tidak, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Qs. Al Muthaffifin [83] : 14)
Rasulullah saw. bersabda, “Aku tinggalkan pada kalian dua nasihat, yang satu berbicara, dan yang lain diam. Yang berbicara adalah al Qur’an dan yang diam adalah mengingat maut.” Nasihat-nasihat beliau itu akan bernilai bagi mereka yang siap menerima dan menganggapnya penting. Sedangkan bagi mereka yang menilai bahwa agama itu tidak berharga dan hanya menghalangi kemajuan, tentu ia tidak akan mempedulikan nasihat tersebut, apalagi mengamalkannya.
Hasan bashri rah.a. berkata, “orang-orang dahulu memahami al Qur’an itu sebagai firman Allah. Sepanjang malam mereka sibuk bertafakkur dan bertadabbur terhadap al Qur’an (memikirkan isi kandungan al Qur’an), dan sepanjang harinya mereka sibuk mengamalkannya. Sedangkan kalian hanya memperlihatkan huruf, fathah, dan dhamahnya, tanpa menganggapnya sebagai firman Allah, sehingga tidak pernah mentafakkuri dan mentadabburinya.”
Hadits ke-20
عَن عَائِشَةَ رَضَيِ اللٌهُ عَنَهَا قَالَتُ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَيِ اللٌهُ عَلَيِه وَسَلَمَ اِنَ لِكُلِ شَيء شَرَفاً يَتَبَاهُونَ بِه وَاِنٌ بَهَأءَ اُمٌتَيِ وَشَرَفَهَا القُرانُ. (رواه ابو نعيم في الحليه)
Dari Aisyah r.ha. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai kemuliaan yang mereka banggakan. Dan sesungguhnya kebanggaan dan kemuliaan umatku adalah al Qur’an.” (Hr. Abu Nu’aim – al HIlyah)
Banyak orang yang membanggakan keturunan, keluarga, dan sebagainya sebagai kebesaran dan kemuliaan mereka. Padahal kebanggaan bagi umat ini adalah al Qur’an, yaitu membaca, menghafal, mengajarkan, dan mengamalkannya. Setiap amalannya merupakan sesuatu yang patut dibanggakan. Betapa tidak, karena al Qur’an adalah kalam Allah Swt., Kekasih kita, yang di dunia ini tidak ada satu kebesaran pun yang dapat menyamainya. Kehebatan dunia pasti akan binasa, jika tidak sekarang, pada suatu saat nanti. Sedangkan kesempurnaan Kalamullahtidak akan binasa selamanya, bahkan karena kesempurnaannya seperti keindahan susunan dan paduan kata, penyesuaian kata, hubungan antar kalimat, berita tentang kejadian-kejadian pada masa lalu dan yang akan datang, pernyataannya terhadap tingkah laku manusia yang tidak mungkin bisa dipungkiri, misalnya kisah kaum Yahudi yang menyatakan cintanya kepada Allah tetapi enggan mati. Selain itu, pendengar akan terpesona dan pembacanya tidak akan bosan membacanya. Setiap susunan kata akan menimbulkan rasa cinta. Seindah apa pun surat dari seorang yang kita cintai hingga membuat kita mabuk cinta, kita akan bosan setelah membacanya sepuluh kali. Jika tidak, mungkin pada yang kedua puluh atau keempat puluh kalinya. Bagaimanapun juga, pasti ia akan bosan. Sedangkan al Qur’an, jika kita menghafal satu ‘ain, kita tidak akan bosan membacanya, walaupun untuk kedua ratus atau keempat ratus kalinya, bahkan selama hidup kita, kita tidak akan merasa bosan. Jika ada sesuatu yang menghalangi kita untuk membacanya, itu hanya bersifat sementara dan pasti akan hilang. Semakin sering membacanya akan semakin terasa keindahan dan kenikmatannya.
Begitu hebatnya keistimewaan al Qur’an sehingga seandainya ada perkataan selain al Qur’an yang memiliki satu saja (walaupun tidak seluruhnya) dari keistimewaan tersebut, betapa dibanggakannya. Apalagi jika seluruhnya, tentu akan lebih membanggakan.
Sekarang marilah kita memikirkan diri kita, berapa banyaknya diantara kita yang merasa bangga sebagai hafizh al Qur’an, dan berapa banyak di antara kita yang menghormati dan bangga terhadap hafizhal al Qur’an? Sayangnya, kita lebih merasa bangga dengan gelar dan pangkat yang tinggi, padahal setelah meninggal dunia, semua itu akan ditinggalkan. Kepada Allah lah kita mengadu.
Hadits ke-21
عَن اَبيِ ذًرٍ رَضَيِ اللٌهُ عَنهُ قَالَ : قُلتُ يَارَسُولَ اللٌهِ صَلَيِ اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ اَوصِنيِ قَالَ عَلَيكَ بِتَقوَي اللٌهِ فَانٌهَا رَاسُ الآمرِ كُلٌهِ قُلتُ يَارَسُولَ اللٌهِ زَدنيِ قَالَ عَلَيكَ بِتِلآوَةِ القُرانَ فَاِنٌه نُورُلَكَ فيِ لآرضِ وَذٌخرُ لَكَ فيِ الٌسَمَأءِ. (رواه أبن حبان في صحيحه في حديث طويل) 
.
Dari Abu Dzar r.a., ia menceritakan, “Aku pernah berkata pada Rasulullah saw., ‘Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat! ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah Swt., karena takwa adalah akar dari setiap urusan.’ Saya berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, tambahkan wasiat untukku!’ Rasulullah pun bersabda, ‘Hendaklah engkau membaca al Qur’an, karena sesungguhnya al Qur’an itu nur bagimu di muka bumi dan bekal yang disimpan di langit.” (Hr. Ibnu Habban)
Sesungguhnya takwa adalah akar segala urusan. Hati yang memiliki rasa takut kepada Allah tidak akan pernah bermaksiat kepada-Nya dan tidak akan mengalami kesusahan. Firman Allah Swt.
ومن يَّتَقِ اللهَ يَجْعَلْ لهُ مَخْرَجاً ً*وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ.....,
“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka akan dijadikan baginya jalan keluar dari segala kesusahan dan diberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka…” (Qs. Ath Thalaq [65] : 2-3)
Dari beberapa riwayat yang lalu kita telah mengetahui tentang nur tilawat al Qur’an. Disebutkan dalam Syarh Ihya dariMa’rifah Abu Nuaim, bawa Basith r.a. meriwayatkan dari Nabi saw., sabdanya, “Rumah-rumah yang didalamnya terdapat bacaan al Qur’an akan terlihat bersinar oleh para penduduk langit sebagaimana bintang-bintang terlihat bersinar oleh para penduduk bumi.”
Dalam kitab at Targhib dan yang lainnya, hadits di atas telah diringkas dari sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibbandan yang lainnya. Mulla Ali Qari rah.a. telah menulisnya secara rinci, sedangkan Imam Suyuthi sedikit meringkasnya. Walaupun bagian hadits diatas telah mencukupi keperluan risalah ini, seluruh hadits tersebut mengandung banyak hal penting dan bermanfaat. Oleh karena itu, maksud seluruh hadits diatas akan dijelaskan di bawah ini:
Abu Dzar al Ghifari r.a. menceritakan: Saya bertanya kepada Nabi saw., “Berapa banyakkah kitab yang telah diturunkan oleh Allah?”
Beliau menjawab, “Seratus shahifah dan empat kitab suci. Lima puluh shahifah diturunkan kepada Syits a.s., tiga puluh shahifah kepada Idris a.s.,sepuluh shahifah kepada Ibrahim a.s. sepuluh mushaf kepada Musa a.s. sebelum Taurat diturunkan kepadanya. Dan selain mushaf-mushaf itu ada empat kitab suci yang diturunkan kepadanya. Dan selain mushaf-mushaf itu ada empat kitab suci yang diturunkan, yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan al Qur’an.’ Saya bertanya lagi, ‘Apakah kandungan mushaf-mushaf yang diturunkan kepada Ibrahim a.s.?’ Beliau menjawab, ‘Berisi tamsil-tamsil, misalnya:
‘Wahai raja yang kuat dan angkuh! Aku tidak melantikmu untuk mengumpulkan harta, tetapi Aku melantikmu untuk mencegah sampainya do’a seseorang yang dizhalimi. Kamulah yang harus lebih dulu memperbaikinya, karena Aku tidak menolak doa orang yang didzhalimi walaupun dia seorang kafir.”
Hamba yang hina ini (Maulana Zakariya – pent.) menyatakan, “Jika Nabi saw. akan mengangkat seorang sahabatnya sebagai gubernur atau hakim, maka beliau dengan penuh perhatian akan menambahkan di dalam nasihatnya:
Takutilah do’a orang yang teraniaya, karena sesungguhnya antara ia dengan Allah tidak ada hijab.”
Dalam sebuah syair Persia disebutkan,
“Berhati-hatilah dengan keluhan orang yang teraniaya jika mereka berdo’a karena penerimaan Allah itu dekat dengan mereka.”
Juga disebutkan dalam shahifah-shahifah tersebut bahwa orang yang berakal sehat selama akalnya masih normal, hendaknya ia membagi seluruh waktunya menjadi tiga bagian, yaitu: (1) Untuk beribadah kepada Rabbnya; (2) Untuk menghisab dirinya, beberapa banyak keburukan atau kebaikan yang telah ia lakukan; (3) Untuk mencari penghasilan yang halal.
Seseorang yang berakal juga harus mengatur waktunya, memperbaiki dirinya, dan menjaga lidahnya dari bicara yang sia-sia. Orang yang selalu menghisab setiap ucapannya, maka lidahnya akan berkurang dari bicara sia-sia. Orang yang berakal juga tidak akan berpergian kecuali untuk tiga tujuan, yaitu: (1) Mencari bekal akhirat; (2) Mencari nafkah sekadarnya; (3) Bersantai yang diperbolehkan (oleh agama).
Abu Dzar r.a. bertanya lagi, “Ya rasulullah, apakah kandungan shahifah yang diturunkan kepada Musa a.s.?” Beliau menjawab, “Semuanya berisi pelajaran-pelajaran, misalnya: ‘Aku heran terhadap orang yang meyakini kematian, tetapi ia masih bergembira dengan sesuatu, (biasanya seseorang jika telah diputus akan di hukum mati, ia tidak akan merasa tenang dengan apapun). Aku heran terhadap orang yang meyakini kematiannya, tetapi ia masih bisa tertawa. Aku heran terhadap orang yang selalu memperhatikan kejadian-kejadian, perubahan-perubahan, dan gejola dunia, tetapi ia masih merasa tenang dengannya. Aku heran terhadap orang yang meyakini takdir, tetapi ia masih berduka cita bersedih hati. Aku heran terhadap orang yang meyakini hisab itu dekat, tetapi ia tidak beramal shalih.
Abu Dzar r.a. meminta lagi,. “Ya Rasulullah, tambahkan lagi wasiat untukku!”
Pertama-tama Rasulullah saw. mewasiatkan takwa kepadaku. Lalu beliau bersabda, “Takwa adalah dasar dan akar segala urusan.”
Aku memonta lagi, “Ya Rasulullah, tambahkan lagi wasiat untukku.” Beliau bersabda, “Perbanyaklah membaca al Qur’an dan mengingat Allah, karena yang demikian itu adalah nur bagimu di bumi dan simpanan bagimu di langit.”
Aku meminta lagi, “Tambahkan lagi wasiat untukku!”
Beliau bersabda, “jangan banyak tertawa, karena sesungguhnya banyak tertawa itu akan mematikan hati dan menghilangkan nur wajah (merugikan jasmani dan Ruhani).” Beliau bersabda lagi, “Pentinglah jihad, karena jihad adalah rahbaniah umatku. (Pada zaman dahulu, rahib adalah orang-orang yang memutuskan seluruh hubungan dengan dunia dan diri mereka hanya pasrah kepada Allah).”
Aku minta tambahan lagi. Lalu ia bersabda, “Pandanglah selalu orang-orang yang berada dibawahmu (lebih rendah darimu), dengan begitu kamu dapat bersyukur; dan jangan memandang orang yang berada diatasmu, sehingga kamu akan meremehkan nikmat Allah.”
Aku meminta tambahan lagi. Lalu beliau bersabda, “Hendaklah keburukanmu menahanmu dan mencaci orang lain. Dan janganlah mencari aib orang lain, sedangkan kamu sendiri melakukannya. Cukuplah sebagai bahan untuk mencela dirimu bahwa kamu melihat aib orang lain, sedangkan aib itu ada pada dirimu tetapi kamu tidak menyadarinya, atau kamu mengoreksi kesalahan orang lain sedangkan kamu sendiri melakukannya.” Kemudian dengan tangannya yang mulia, Nabi saw. menepuk daadku sambil bersabda, “Wahai Abu Dzar, tidak ada kebijaksanaan yang lebih baik daripada pengaturan, tidak ada ketakwaan yang lebih baik daripada menjauhi larangan, dan tidak ada kemuliaan yang lebih baik daripada sopan santun.”
Ini hanyalah ringkasan maksud hadits diatas, sedangkan terjemah tekstual tidaklah demikian.
Hadits ke-22
عَن اَبيِ هُرَيَرةَ رَضَيِ اللٌهُ عَنهُ أنَ رَسُولَ اللٌهِ صَلَيِ اللٌهٌ عَلَيهِ وَسَلَم قَالَ مَا اجٌتَمَعَ قَومُ فيِ بَيتٍ مِن بُيُوتِ اللٌهِ يَتلُونَ كتَابَ اللٌهِ وَيَتَدَا رَسُونَه فِيمَا بَيْنَهُم إلا نَزَلتْ عليْهمُ السَكِينَةُ وَغَشِيتهُمُ الرَّحمةُ وَحَفَتهمُ الملآئكةُ وَذَكَرَهُمُ اللٌهُ فِيمَن عِندَهُ. (رواه مسلم وابو داوود)
Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan saling mengajarkannya di antara mereka, melainkan diturunkan ke atas mereka sakinah, rahmat menyirami mereka, para malaikat mengerumuni mereka, dan Allah Swt. menyebut-nyebut mereka di kalangan (malaikat) yang ada disisinya.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)
Hadits ini menerangkan keutamaan khusus madrasah-madrasah dan pondok pesantren yang memiliki berbagai kemuliaan. Setiap kemuliaan itu memiliki derajat sangat tinggi, sehingga jika seseorang menghabiskan umurnya untuk mendapatkan suatu kemuliaan saja, itu pun masih murah dan sangat banyak nikmat yang diperolehnya. Khususnya keutamaan yang terakhir, yaitu akan disebut-sebut di majelis Allah. Dan disebutnya nama kita dimajelis Kekasih kita merupakan nikmat yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun.
Mengenai turunnya sakinah telah banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. Ulama hadits telah banyak menjelaskan penafsirannya, tetapi tidak ada pertentangan diantara perbedaan mereka, bahkan jika disatukan akan memiliki maksud yang sama.
Ali r.a. menafsirkan sakinah adalah sejenis udara khusus yang mempunyai wajah manusia. Suji rah.a. berpendapat bahwa sakinah adalah nama sejenis mangkuk di surge yang terbuat dari emas yang digunakan untuk mencuci hati para Nabi. Sebagian ulama mengatakan bahwa sakinah adalah suatu rahmat khusus. Thabrani rah.a. mendukung pendapat yang mengatakan bahwa sakinah adalah ketenangan hati. Sebagian lagi menafsirkan sakinah sebagai kedamaian. Pendapat lain menyebutkan sakinah sebagai kewibawaan. Dan lainnya lagi menafsirkan sakinah adalah malaikat. Selain itu masih banyak penafsiran lainnya. 
Hafizh Ibnu Hajar rah.a. menulis dalam Fathul-Bari bahwa arti sakinah mencakup semua yang telah disebutkan di atas. Imam Nawawi rah.a menafsirkan bahwa sakinah adalah gabungan antara ketenangan, rahmat, dan lain-lainnya, yang diturunkan bersama malaikat.
Allah Swt. Berfirman,
“Maka Allah menurunkan sakinah-Nya ke atasnya.” (Qs. At Taubah [9] : 40).
Dalam ayat yang lain disebutkan:
“Dialah yang menurunkan sakinah ke dalam hati orang-orang yang beriman.” (Qs. Al Fath [48]:4)
“…Di dalamnya terdapat ketenangan dari Rabbmu…” (Qs. Al Baqarah [2]:248)
Ternyata banyak sekali ayat al Qur’an dan hadits yang menyebutkan kabar gembira itu. Diriwayatkan dalam kitab Ihyabahwa Ibnu Tsauban r.a. pernah berjanji kepada saudaranya bahwa ia akan berbuka shaum bersama, tetapi ternyata ia baru tiba keesokan paginya. Ketika saudaranya menanyakan penyebab keterlambatannya, Ibnu Tsauban menjawab, “Seandainya bukan karena janjiku kepadamu, tentu aku tidak akan membuka rahasia keterlambatanku ini. Kejadiannya adalah sebagai berikut: tanpa disengaja aku telah terlambat hingga waktu Isya. Setelah shalat Isya aku merasa bahwa aku harus shalat Witir, karena aku tidak tenang jika kematian datang pada malam itu, dan hal itu akan menjadi sisa tanggung jawabku. Ketika aku sedang membaca do’a Qunut, terlihat olehku sebuah taman Surga hijau yang dipenuhi berbagai jenis bunga. Demikian asyiknya aku memandang taman itu, sehingga tanpa terasa tibalah waktu Shubuh.”
Kisah seperti di atas juga telah banyak terjadi pada alim ulama kita dahulu, namun hal itu akan diperoleh jika telah terputus hubungan dengan segala sesuatu kecuali dengan Allah semata, serta dengan bertawajuh secara sempurna kepada-Nya.
Mengenai ‘malaikat yang datang mengelilingi’, banyak riwayat yang menjelaskan hal itu. Demikian juga mengenai kisah Usaid bin Hudhair r.a., telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab hadits. Yaitu ketika ia sedang membaca al Qur’an, ia merasa ada segumpal awan mendekatinya. Ketika hal itu ditanyakan kepada Nabi saw. maka beliau bersabda, “Itu adalah para malaikat yang datang untuk mendengarkan bacaan al Qur’an. Begitu banyak malaikat yang datang, sehingga terlihat seperti kumpulan awan.” Suatu ketika, seorang sahabat merasakan ada awan yang mengiringinya, maka Rasulullah saw. bersabda, “Itu adalah sakinah,” yaitu rahmat yang diturunkan karena bacaan al Qur’an. Dalam Shahih Muslim, hadits ini diriwayatkan dengan lebih jelas lagi, dan kiamat terakhir dari hadits tersebut adalah:
“Siapa yang karena kemaksiatannya menjauhkan ia dari rahmat Allah, maka kemuliaan keturunannya tidak dapat mendekatkan dirinya kepada rahmat Allah.”
Orang yang mulia nasabnya tetapi sering berbuat dosa dan maksiat tidak dapat disamakan di hadapan Allah dengan orang yang hina nasabnya tetapi bertakwa kepada Allah. Al Qur’an menyebutkan: 
‘….Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa…” (al Hujarat [49]:13)
Hadits ke-23
عَن أبِي ذُرٍ رَضَي اللٌهُ عَنهُ قَالَ : قَالَ رَسُولَ صَلَيِ اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ اِنكُمُ لآ تَرجِعُونَ اِلي اللٌهِ بِشَيء اَفَضَلَ مِمَا خَرَجَ مِنهُ يَعنَيِ القُرانَ. (رواه الحاكم وصححه أبو داوود في مراسيله عن جبير بن نفير والبترمذي عن امامة بمعناة)
Dari Abu Dzar r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, sesunggguhnya kalian tidak akan kembali kepada Allah dengan membawa sesuatu yang lebihh utama selain membawa apa yang keluar dari-Nya, yakni al Qur’an.” (Hr. Hakim)
Berdasarkan beberapa riwayat, jelas bahwa tidak ada yang dapat mendekatkan kita kepada Allah kecuali dengan al Qur’an. Imam Ahmad bin Hambal rah.a. berkata, Seakan-akan aku melihat Allah dalam mimpiku dan aku bertanya kepada-Nya, ‘Apa yang terbaik untuk mendekatkan diri kepadaMu?” Allah Swt. menjawab “Ahmad, kalam-Ku (yakni al Qur’an).” Aku bertanya, “Membaca dengan memahaminya atau tanpa memahaminya?” Allah berfirman, “Paham atau tidak, keduanya akan mendekatkan kepada-Ku.”
Jelaslah bahwa cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan al Qur’an. Diterangkan dalam tafsir Syaikh Baqiyatus Salaf, Hujjatul Khalaf Syaikh Abdul Aziz Dahlawi yang kesimpulan dan penafsirannya adalah bahwa suluk kepada Allah atau untuk mencapai derajat ihsan kepada-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya adalah dengan tiga cara:
1. Tashawwur. Dalam syari’at lebih dikenal dengan istilah tafakkur dan tadabbur, dan dalam istilah tasawwuf lebih dikenal dengan muraqabah.
2. Dzikir Lisan.
3. Tilawah al Qur’an.
Cara yang pertama sebenarnya adalah dzikir Qalbi (dzikir dengan hati). Pada dasarnya, hanya dilakukan dengan dua cara: Pertama, dzikir secara umum, baik dengan hati atau dengan lisan; Kedua, dzikir dengan tilawat al Qur’an.
Dengan menyebut salah satu nama Allah berulang-ulang, maka tujuan dzikir akan didapatkan, yakni memperolehmudrikah (bertawajuh kepada-Nya) dan menimbulkan perasaan bahwa yang diingat itu ada didepan kita. Jika terus berlangsung seperti itu, maka itulah ma’iyyat (kebersamaan dengan Allah) sebagaimana yang diterangkan di dalam hadits:
لَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَربُ إِليَّ بِالنّوَافِلِ حَتَّى اَحْبَبْتهُ فَكُنْتُ سَمْعَهُ الَذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ اّلَذِي يَبْصُرُ بِهِ وَيَدُ اّلَتي يَبْطِسُ بِهَا.
“Hamba-Ku selalu mendekati-Ku dengan amal nawafil (sunnat), sehingga Aku menciptakannya. Maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang ia melihat dengannya, menjadi tangannya yang ia memegang dengannya, dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan.”
Apabila seseorang hamba memperbanyak ibadah, Allah akan dekat kepadanya dan akan menjadi penjaganya. Mata, telinga, dan yang lainnya akan mengikuti keinginan Allah.
Dalam riwayat itu dikatakan ‘memperbanyak shalat-shalat nafil’ adalah karena fardhu itu sudah ditetapkan jumlahnya, tidak boleh dilebihkan, sehingga sangat penting bagi kita untuk selalu merasakan kehadiran Allah di dalam ibadah kita sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Namun, cara bertaqarrub seperti ini hanya digunakan untuk mendekati Dzat Allah Yang Kita cintai. Kita tidak mungkin dapat mendekati manusia hanya dengan sering menyebut namanya. Karena untuk bertaqarrub seperti ini harus ada dua hal:
1. Yang diingat harus mengetahui dzikir setiap orang yang mengingatnya, baik secara lisan ataupun di dalam hati, walaupun dalam waktu dan bahasa yang berbeda.
2. Dia harus mampu bertajalli (manifestasi) dan memenuhi keinginan orang yang mengingatnya, yang biasa disebut dengan dunuw (kedekatan) dan tadalli (pendekatan), atau dikenal dengan istilah nuzul (turun) dan qrub (kedekatan)
Kedua sifat ini hanya dimiliki oleh Allah Swt., sehingga cara taqarub diatas hanyamungkin untuk mendekatkan diri kepada Dzat Allah. Disebutkan didalam hadits Qudsi.
“Barangsiapa mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta.”
Ini sekadar perumpamaan, sebab sesunggguhnya Allah Maha Suci dari berjalan dan berlari. Dan keinginan serta usaha Allah lebih tawajjuh dan lebih dekat daripada usaha dan keinginan seseorang yang selalu mengingat dan mencari-Nya. Mereka memang pantas mendapatkan kasih saying Allah, sebab sifat Rabb Yang Maha Mulia adalah selama orang yang mengingatnya ia terus berdzikir, maka tawajuh dan kedekatan Allah padanya pun terus menerus.
Kallamullah adalah untuk mengingat Allah Swt., tidak ada stu ayat pun yang tidak bertujuan untuk mengingat Allah. Hal itu menegaskan bahwa al Qur’an memiliki sifat-sifat dzikir sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Dan satu kelebihan khusus lainnya yang ada pada al Qur’an yang dapat mendekatkan kita kepada Allah adalah bahwa setiap ucapan jelas akan membawa sifat dan pengaruh terhadap pembicaraannya; sebagaimana orang yang membaca ayar’ir-sya’ir orang fasik dan durjana, maka akan mengakibatkan pengaruh buruk baginya. Dan orang yang membaca sya’ir orang-orang yang bertakwa akan menyebabkan ia juga bertakwa. Dengan alasan inilah maka dikatakan bahwa banyak mempelajari ilmu logika dan filsafat akan menimbulkan kesombongan dan keangkuhan. Sedang banyak mengkaji hadits akan menimbulkan sifat tawadhu’. Oleh sebab itu, walaupun dari segi bahasa, bahasa Persia dan Inggris itu sama-sama bahasa, tetapi karena perbedaan pada pengarangnya dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pembacanya. Singkatnya, setiap bacaan akan mempengaruhi pembacanya.
Demikian pula dengan terus-menerus membaca al Qur’an, tentu akan menimbulakn pengaruh khusus dari Sang Pencipta kepada pembacanya. Telah menjadi kaidah bagi setiap [engarang, bahwa jika ada orang yang betul-betul memperhatikan tulisannya, berarti ia memperhatikan dan mencintai pengarang itu sehingga pengarang itu pun akan memperhatikannya. Demikian pula orang yang senantiasa membaca firman-firman Allah Swt., maka akan lebih mendekati-Nya. Semoga Allah Yang MAha Mulia menganugerahkan Taufik-Nya kepada kita.
Hadits ke-24
عَن اَنَسٍ رَضَيِ اللٌهُ عَنهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَي اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ اِنٌ للٌهِ اَهلِينَ مِنَ النٌاسِ قَالٌوا: مَن هٌم يَارَسُولَ اللٌهِ؟ قَالَ أهلُ القُرانَ هُم أهلُ اللٌهِ وَخَاصٌتٌهُ. (رواه النسائي وابن ماجه والحاكم واحمد)
Dari Anas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga dari kalangan manusia.” Para sahabatnya bertanya, “Siapakah mereka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlul Qur’an, mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang istimewa-Nya.” (Hr. nasai, Ibnu Majah, Hakim, dan Ahmad)
Ahli al Qur’an adalah orang-orang yang senantiasa sibuk dengan al Qur’an. Mereka diberi keistimewaan sebagaiahlullah dan orang-orang istimewa-Nya, sehingga jelaslah bahwa Allah akan senantiasa memperhatikan orang yang selalu sibuk membaca al Qur’an. Barangsiapa yang selalu bersaman-Nya tentu akan menjadi ahli-Nya dan menjadi orang istimewa-Nya. Betapa tinggi kemuliaannya, dengan sedikit pengorbanannya saja ia telah disebut sebagaiahlullah, sehingga dengan keistimewaannya itu ia akan dimuliakan.
Padahal untuk memasuki istana di dunia ini atau untuk menjadi anggota suatu majelis terhormat, berapa banyak harta dan jiwa yang mesti dikorbankan? Meskipun harus dengan menghinakan diri dan menahan malu demi mengambil hati peserta siding, tetapi kita tetap menganggap bahwa itu suatu kebaikan. Sebaliknya, usaha untuk mendalami al Qur’an kita anggap sebagai suatu kerugian.
“Perhatikan perbedaan jalan, manakah yang kau tuju dan kemana jalan itu menuju.”
Hadits ke-25
عَن أبيِ هُرَيرَةَ رَضَيِ اللٌهُ عَنهُ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَي اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ مَا أذِنَ اللٌه لِشَىء كَمَا أذِنَ لِنَبِىٍ يَتَغَني بِالقُرانِ. (رواه بخارى ومسلم)
Dari Abu Hurairahr.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, Allah tidak pernah mendengarkan sesuatu dengan penuh perhatian sebagaimana Dia mendengarkan dengan penuh perhatian kepada seorang nabi yang melagukan al Qur’an.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Telah kita ketahui sebelumnya bahwa Allah Swt. memberikan perhatian istimewa kepada kalam-Nya. Anbiya a.s.membaca al Qur’an dengan adab yang sempurna, oleh karenanya, maka Allah sangat memperhatikan mereka. Apalagi dengan suara mereka yang merdu, perhatian Allah tentu lebih besar lagi. Sedangkan orang-orang setelah Anbiya a.s akan mendapatkan perhatian dari Allah Swt. sesuai dengan taraf keindahan bacaan mereka.
Hadits ke-26
عَنْ فُضَالَةَ بنِ عَبيدٍ رَضَي اللٌهُ عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَيِ اللهُ اَشَدُ أُذٌنًا إِلي قَارِئِ القُرآنِ مِنْ صَاحِبِ القَيْنَةِ اِلي قَيْنَتِهِ. (رواه ابن ماجه وابن حبان كذا في شرح الاحياء قلت وقال الحاكم صحيح على شرطهما وقال الذهبي منقطع).
Dari Fudhalah bin Ubaid r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah lebih mendengarkan dengan penuh perhatian kepada pembaca al qur’an dari pada seorang tuan yang mendengarkan nyanyian hamba perempuannya.” (Hr. Ibnu Majah, Ibnu Haban, dan Hakim Berkata Sahih dengan syaratnya, dan Aldhahibi berkata Mungatie).
Telah menjadi fitrah dan adat kita menyukai nyanyian. Namun, karena syari’at agama telah melarangnya, maka orang-orang yang kuat beragama tidak akan mendengarkannya. Walaupun demikian, seorang tuan boleh mendengarkan nyanyian hamba sahaya wanitanya. Tetapi al Qur’an tidak boleh dinyanyikan seperti lagu. Hal itu berdasarkan hadits:
“Hindarilah oleh kalian (membaca al Qur’an) dengan nada orang bercinta!”
Maksudnya, jangan membaca al Qur’an dengan nada yang diatur oleh nada-nada musik dan suara penyanyi lagu cinta. Alim ulama menulis bahwa orang yang membaca al Qur’an seperti itu dianggap fasik dan pendengarnya berdosa besar. Al Qur’an hendaknya dibaca dengan merdu tanpa nada nyanyian, tanpa lagu yang berlebihan. Diantara sekian banyak hadits yang menerangkan hal ini adalah hadits yang berbunyi, “Hiasilah al Qur’an dengan suara yang merdu.” Hadits yang lain menyebutkan, “Suara merdu melipatgandakan keindahan al Qur’an.”
Syaikh Abdul Qadir Jailani rah.a menulis di dalam al Ghunyah, ketika Abdullah bin Mas’ud r.a. berjalan di Kufah ada sekelompok ahli maksiat yang sedang berkumpul di sebuah rumah. Dalam kumpulan itu, seorang penyanyi yang bernama Zadzan menyanyi dengan diiringi alat music. Mendengar suaranya yang merdu, Ibnu Mas’ud berkata, “Alangkah baiknya jika suara itu jika digunakan untuk membaca al Qur’an.” Lalu ia menutupkan kain dikepalanya dan meninggalkan tempat itu. Mendengar ucapan itu, Zadzan pun bertanya kepada orang lain, maka tahulah ia bahwa orang itu adalah Abdullah bin Mas’ud, salah seorang sahabat Nabi saw., Ucapan itu sangat bberpengaruh kedalam hatinya sehingga ia hancurkan alat-alat musiknya dan mulai menjadi pengikut Ibnu Mas’ud r.a.. di kemudian hari, ia dikenal sebagai seorang ulama pada zamannya.
Banyak riwayat yang menganjurkan agar membaca al Qur’an dengan suara yang lebih indah, namun banyak juga riwayat yang melarang membacanya dengan suara seperti nyanyian sebagaimana riwayat diatas. Hudzaifah r.a.berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Bacalah al Qur’an dengan gaya Arab, jangan membacanya seperti seorang yang mabuk cinta atau seorang Yahudi atau Nasrani. Sebentar lagi aka nada suatu kaum yang membaca al Qur’an dengan dilagukan seperti para penyanyi dan seperti orang yang berteriak-teriak meratapi duka, bacaannya tidak akan bermanfaat sedikit pun baginya. Mereka akan mendapat fitnah dan orang-orang yang menganggap bacaan mereka itu bagus pun kan terkena fitnah.”
Thawus r.a. berkata, “Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw., “Siapakah yang palinh bagus suaranya dalam membaca al Qur’an?” Beliau saw., menjawab, ‘Seseorang yang jika kamu melihatnya membaca al Qur’an terasa bahwa ia takut kepada Allah, yakni dari suaranya terasa ia dalam keadaan takut.”
Merupakan kenikmatan dari Allah bahwa Dia tidak membebani seseorang itu kecuali sesuai dengan kemampuannya. Sebuah hadits menyebutkan bahwa Allah mengutus malaikat dengan tugas khusus, yaitu jika ada seseorang yang membaca al Qur’an tetapi ia tidak mampu membacanya dengan benar, maka malaikata akan membawanya ke langit setelah ia memperbaiki bacaan orang itu terlebih dahulu.
“Ya Allah, aku tidak mampu menghitung pujian bagi-Mu.”
Hadits ke-27
عَنْ عُبَيْدَةَ المُلَيْكِيّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى عليهِ وَسَلَّمَ: يَا أهلَ القُرآنِ لَا تَتَوَسَّدُوا القُرآنَ وَأتْلُوْهُ حَقَّ تِلاوَتهِ مِنْ انآءِ اللَّيلِ وَالنَّهَارِ وَافْشُوْهُ وَتَغَنّوُهُ وتَدَبَّرُوا مَا فيهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ وَلَا تَعَجَّلُوا ثَوَابَهُ فَإنَّ لَهُ ثَوَاباً. (رواه البيهقيفي شعب الأيمان) 
Dari Ubaidah al Mulaiki r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Wahai ahli-ahli al Qur’an, janganlah kalian menggunakan al Qur’an sebagai bantal dan bacalah al Qur’an dengan sebenar-benarnya bacaan pada malam dan siang hari, sebarkanlah ia, bacalah ia dengan suara merdu, dan pikirkanlah isi kandungannya! Mudah-mudahan kalian beruntung. Janganlah kalian meminta disegerakan upahnya (didunia), karena ia mempunyai ganjaran (diakhirat).” (Hr. Baihaqi – Syu’abul Iman)
Hadits diatas mengandung beberapa pelajaran bagi kita:
(1) Jangan jadikan al Qur’an sebagai bantal. Pernyataan ini mempunyai dua pengertian.
Pertama, menggunakan al Qur’an sebagai bantal, perbuatan ini jelas menyalahi adab. Ibnu Hajar rah.a. menulis menjadikan al Qur’an sebagai bantal menjulurkan kaki ke arahnya, membelakanginya dan menginjaknya, adalah haram. Kedua, mengandung maknakiasan, yakni melalaikan al Qur’an dan membiarkannya di atas bantal seperti yang dilakukan di kuburan-kuburan, yakni sekedar untuk mendapat berkah, al Qur’an diletakan diatas bangku di samping batu nisan. Hal ini sama dengan mengabaikan hak al Qur’an, sebab hak al Qur’an adalah untuk dibaca.
(2) Membaca al Qur’an sesuai haknya, yakni dengan menjaga adab-adabnya semaksimal mungkin, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an:
Orang-orang yang telah Kami berikan al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya…” (Qs. Al Baqarah [2] : 121)
Yaitu membaca dengan penghormatan seperti halnya terhadap perintah raja, dan membacanya dengan penuh rasa cinta sebagaimana halnya membaca surat dari seorang kekasih, demikianlah hendaknya kita membaca al Qur’an. 
(3) Menyebarkan al Qur’an, baik melalui ceramah, tulisan, dorongan, perbuatan, atau dengan cara apapun. Nabi saw.menyuruh kita menyebarkan dan mengembangkan al Qur’an. Tetapi para cendekiawan malah beranggapan bahwa membacanya merupakan perbuatan sia-sia. Padahal mereka mengaku sebagai orang Islam dan orang yang mencintai Rasulullah saw…sebuah syair Persia menyatakan:
“Wahai orang A’rabi, aku takut kamu tidak akan sampai ke ka’bah karena jalan yang kamu tempuh menuju ke Turkistan.
Nabi saw. menyuruh kita agar menyebarkan al Qur’an, tetapi yang kita lakukan malah berusaha merintanginya. Kita menetapkan bagi anak-anak kita peraturan wajib belajar, sehingga anak-anak terjauh dari al Qur’an dan beralih ke sekolah umum. Kita membenci para Ustadz di madrasah, karena kita anggap mereka telah menyia-nyiakan umur anak kita, sehingga kita tidak memasukan anak kita ke madrasah. Para ustadz itu mungkin saja berbuat salah, tetapi jika kita berlepas tangan dari masalah ini atau melepaskan tanggung jawab dan kewajiban menyebarkan al Qur’an, maka dalam keadaan demikian kitapun sebenarnya tetap bertanggung jawab atasnya. Sedangkan kekurangan/kesalahan para ustadz itu, mereka sendirilah yang akan menanggungnya.
Para ustadz di madrasah mempunyai kekurangan, tetapi apakah hanya dengan melihat kekurangan para ustadz itu lalu kita menahan anak-anak kita agar tidak belajar di madrsah al Qur’an? Kita mengirim surat kepada para orang tua bahwa ‘ustadz-ustadz di madrasah itu mengajar anak-anak membaca atau menghafal al Qur’an hanya karena terpaksa, sehingga beban tersebut sekarang berada di pundak-pundak kalian.’ Hal itu ibarat mengobati orang yang sakit batuk dengan racun. Apakah dimahkamah tertinggi (di akhirat) kelak, jawaban seperti itu yang akan kita berikan, bahwa kita terpaksa menarik anak-anak dari belajar al Qur’an karena pengurus madrasah tidak serius dalam mengajar?
Silahkan Anda pikirkan sendiri, berapa banyak perhatian kita terhadap pelajaran al Qur’an. Untuk membuka toko kain untuk menjadi pegawai pemerintah saja, tiga perempat perhatian kita tercurah untuk mempelajarinya. Padahal Allah telah menegaskan pentingnya mempelajari al Qur’an daripada yang lainnya.
(4) Membaca al Qur’an dengan suara merdu, sebagaimana telah dijelaskan pada hadits yang lalu.
(5) Merenungkan makna kandungan al Qur’an. Dijelaskan di dalam Ihya, bahwa Allah berfirman di dalam Taurat, “Wahai hamba-Ku, apakah kalian tidak malu kepada-Ku? Jika kalian menerima surat dari kawanmu dan kalian sedang berjalan di jalan, maka kalian akan berhenti dan duduk di suatu tempat untuk membacanya dengan penuh perhatian dan berusaha memahami setiap perkataannya. Sedangkan Aku telah menurunkan kitab-Ku kepadamu, Aku telah menjelaskan segala sesuatu di dalamnya dan mengenai masalah yang penting, Aku telah mengulanginya beberapa kali agar kalian memperhatikannya, tetapi kalian tidak memperhatikannya, tetapi kalian tidak mempedulikannya. Apakah kalian anggap Aku ini lebih rendah dari kawanmu? “Wahai hamba-Ku, jika ada kawanmu yang duduk berbicara di dekatmu,kamu akan segera mendengarkannya dengan penuh perhatian dan memikirkan ucapannya. Jika ada yang menyela di tengah pembicaraannya, kamu akan menegurnya dengan isyarat tanganmu. Aku telah berbicara kepadamu melalui kitab-Ku, tetapi sedikit pun kamu tidak mempedulikannya. Apakah kalian anggap Aku ini lebih rendah dari kawanmu?” mengenai tadabbur ini, sudah dijelaskan dalam muqaddimah dan dalam hadits ke-8.
(6) jangan mengharapkan upahnya di dunia ini, yakni jangan menerima upah sedikitpun dari membaca al Qur’an, sebab kita akan mendapat pahala yang lebih besar di akhirat kelak. Jika kita mengharapkan upah dari membacanya di dunia ini, hal itu ibarat orang yang lebih senang menukar uangnya dengan kulit-kulit kerang.
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila ummatku telah mengagungkan keduniaan, maka hilanglah kehebatan Islam darinya. Dan apabila ummatku meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, maka diharamkan atas mereka keberkahan wahyu.” Yakni disulitkan memahami al Qur’an. Demikianlah penjelasan di dalam al Ihya.
“Ya Allah, perihalalah kami darinya.”
Hadits ke-28
عَنْ وَاثِلةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ رَفَعَهُ أُعْطِيْتُ مَكَانَ التَّوْراة السَّبْعَ الطُّولَ وَأُعْطِيْتُ مَكَانَ الزَّبُوْرَ المِاِئيْنَ وأُعْطِيْتُ مَكَانَ الإنْجِيْلِ الْمَثَانيِ وَفُضِّلتُ بِالمُفَصَّلِ. (رواه احمد في الكبير كذا في جمع الفوائد)
Dari Watsilah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku telah diberi Sab’a Thuwal sebagai pengganti Taurat, Mi’in sebagai pengganti Zabur, Matsani sebagai pengganti Injil, dan Mufashshal sebagai anugerah istimewa kepadaku.” (Hr. Ahmad ~ Jam’ul Fawa’id)
Tujuh surat pertama dalam al Qur’an disebut sebagai Sab’at Thuwal (Tujuh surat yang terpanjang), sebelas surat disebut sebagai Mi’in (surat-surat yang mengandung sekitar seratus ayat), dua puluh surat disebut Matsani (surat yang berulang-ulang), dan dari sini sampai khatam al Qur’an disebut Mufashshal (surat yang dipisah-pisahkan). Inilah pendapat yang termasyhur.
Ada beberapa surat yang menjadi perbedaan, apakah termasuk dalam golongan Sab’at Thuwal dan Mi’in, termasuk dalam golongan Matsani atau Mufashshal. Namun, perbedaan itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap maksud dan tujuan hadits diatas. Maksud hadits diatas adalah bahwa al Qur’an mengandung kitab-kitab Samawi yang mansyur yang telah diturunkan sebelumnya. Dan sebagai tambahannya adalah Mufashshal, yaitu surat-surat istimewa yang tidak ada dalam kitab-kitab sebelumnya.
Hadits ke-29
عَنْ أبِيْ سَعِيْدِ اْلخُدْرِيِ رضي الله عنه قَاَلَ جَلَسْتُ فيِ عِصَاَبةٍ مِنْ ضُعَفَآءِ الْمُهَاجِرِيْنَ وإنَّ بَعْضَهُمْ لَيَسْتَتِرُ بِبَعْضٍ مِنَ الْعُرى وَقَارِئٌ يَقْرأُ اِذْ جَآءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ عَلَيْنَا، فَلَمَّا قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسَلَّمَ سَكَت القَارِئُ فَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ مَا كُنْتُمْ تَصْنَعُوْنَ؟ قُلْنَا نَسْتَمِعُ اِلى كِتَابِ اللهِ تَعالى فَقَالَ الحَمْدُللهِ الذِيْ جَعَلَ مِنْ أمتي مَنْ اُمِرْتُ اَنْ اَصْبِرَ نَفْسِيْ مَعَهُمْ قَالَ فَجَلَسَ وَسْطَنا لِيَعُدِلَ بِنَفْسِهِ فِيْنَا ثُمَّ قَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا فَتَحَلَّقُوْا وَبَرَزَتْ وُجُوْهُهُمُ لَهُ فَقَالَ اَبشِرُوْا يَا مَعْشَرَ صَعَاليكِ المُهَاجِرِيْنَ بِالُّنوْرِ التَّامَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ قَبْلَ اَغْنِيَآءِ النَّاسِ بِنِصْفِ يَوْمٍ وَذَلِكَ خَمْسُ مِائَةِ سَنَةٍ. (رواه ابو داوود).
Dari abi Sa’id al Khudri r.a., ia menceritakan, “Pernah pada suatu ketika aku duduk dengan sekumpulan Muhajirin yang lemah. Dan sungguh, sebagian mereka menutupi dirinya dengan sebagian lainnya agar tidak terlihat auratnya, sedang seorang Qari membacakan (al Qur’an) kepada kami. Tiba-tiba datanglah Rasulullah saw. lalu berdiri diantara kami. Ketika Rasulullah saw. berdiri, Qari itu pun diam, kemudian beliau member salam dan bertanya, ‘Apa yang sedang kamu lakukan?’ Kami menjawab, ‘Kami sedang mendengarkan bacaan kitab Allah Swt..’ ‘Beliau bersabda, ‘Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan sebagian umatku orang-orang yang aku perintah agar bersabar bersama mereka.’ Kemudian beliau duduk ditengah mengatur kami. Kemudian beliau berisyarat dengan tangan beliau, ‘Melingkarlah kalian seperti ini!’ Maka wajah mereka pun tertuju kea rah beliau. Lau beliau bersabda, ‘Bergembiralah kalian, wahai sekalian Muhajirin yang miskin, (kalian akan mendapatkan cahaya yang sempurna pada hari Kiamat. Kalian akan masuk Surga setengah hari lebih dulu daripada orang-orang kaya, sedang setengah hari (akhirat) sama dengan lima ratus tahun’.” (Abu Dawud)
‘Telanjang badan’ maksudnya adalah yang diluar batas aurat tidak tertutupi, sebab apabila didepan umum, walaupun bukan aurat, mereka tetap menutupinya. Oleh karena itu dimajelis tersebut mereka saling duduk menutupi saudaranya yang tidak memiliki cukup pakaian agar badan saudaranya itu tidak terlihat oleh orang lain. Ketika Rasulullah saw. datang, mereka tidak segera menyadarinya karena ketawajjuhan mereka. Mereka baru menyadarinya ketika beliau telah berada di depan mereka. Sebagai adab, orang yang membacapun diam sejenak. Meskipun Nabisaw. melihat langsung bahwa mereka sedang membaca al Qur’an, beliau tetap bertanya tentang apa yang mereka lakukan. Hal ini menunjukan betapa kegembiraan beliau terhadap amalan mereka.
Dalam hadits diatas juga disebutkan bahwa ‘satu hari di akhirat sebanding dengan seribu tahun dunia.’ Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah Swt.,
“Sesungguhnya sehari di sisi Rabbmu adalah seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung.” (Qs. Al Hajj [22]: 47)
Inilah sebabnya, mengapa hari Kiamat sering disebut ghadam (besok). Namun hitungan ini hanya berlaku untuk orang-orang yang beriman, sedangkan untuk orang-orang kafir, al Qur’an telah menjelaskan:
“Satu hari kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun.” (Qs. Al Ma’aarij [70]: 4)
Dan bagi kaum mu’ minin tertentu, waktu tersebut akan lebih singkat lagi, sesuai dengan derajat masing-masing. Bahkan bagi sebagian mu’ min, lamanya sehari di akhirat itu hanya seperti dua rakaat shalat Shubuh.
Banyak sekali riwayat yang menjelaskan keutamaan membaca al Qur’an, dan ada juga hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan menyimak bacaan al Qur’an. Amalan apalagi yang dapat melebihi keutamaan ini? Sehingga Nabi saw. sendiri diperintah agar duduk bersama mereka, sebagaimana termakyub dalam hadits diatas.
Sebagian ulama berfatwa bahwa mendengarkan bacaan al Qur’an lebih baik daripada membacanya, karena membaca al Qur’an adalah sunnah, sedang mendengarkannya adalah wajib. Dan yang wajib itu selalu lebih tinggi derajatnya daripada yang sunnah.
Berdasarkan hadits diatas diambil kesimpulan mengenai masalah yang sering diperselisihkan oleh alim ulama, yaitu: Manakah yang lebih utama antara orang fakir yang bersabar dengan kemiskinannya (tidak mengeluh kemiskinannya kepada siapapun), dan orang kaya yang bersyukur kepada Allah serta menunaikan kewajibannya. Hadits diatas mendukung pendapat bahwa orang fakir yang bersabar dengan kemiskinannya adalah lebih utama.
Hadits ke-30
عَنْ اَبيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مَنِ اسْتَمَعَ اِلى ايَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ مُضَاعَفَةٌ وَمَنْ تَلَاهَا كَانَتْ لَهُ نُوْراً يَوْمَ القِيَامَةِ. (رواه احمد عن عبادة بن ميسرة واختلف توثيقه عن الحسن عن ابي هريره والجمهور على ان الحسن يسمع عن ابي هريره)
Dari AbuHurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mendengarkan satu ayat dari Kitab Allah, akan ditulis untuknya satu kebaikan yang dilipatgandakan, dan barangsiapa membacanya, maka baginya nur pada hari Kiamat.” (Hr. Ahmad) 
Para muhadditsin mempermasalahkan sanad hadits diatas, namun dari segi isinya, hadits tersebut banyak didukung oleh riwayat-riwayat lain yang kesemuanya menyatakan bahwa mendengar bacaan al Qur’an pahalanya sangat besar. Bahkan ada sebagian yang menyebutkan bahwa mendengarkan bacaan al Qur’an lebih baik daripada membacanya. Ibnu Mas’ud r.a. menceritakan, “Suatu ketika, Rasulullah saw. duduk diatas mimbar. Lalu beliau bersabda, ‘Bacakanlah al Qur’an untukku!’ Aku menyahut, ‘Ya Rasulullah, bukankah al Qur’an itu diturunkan kepada engkau, mengapa aku yang membacakannya untuk engkau?’ Beliau bersabda, ‘Hatiku ingin mendengarnya.’ Lalu Ibnu Mas’ud r.a. membacakannya untuk Nabi saw., maka terlihatlah air mata beliau menetes membasahi mata beliau.”
Suatu ketika salim r.a., maula Hudzaifah r.a. membaca al Qur’an dan Nabi saw. berdiri disampingnya sambil mendengarkan bacaan al Qur’an Abu Musa al Asy’ari r.a. dan beliau memuji bacaannya.
Hadits ke-31
عَنْ عُقْبَةَ بِن عَامِرٍ رَضىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىَ الله عليهِ وَسَلَّمَ الجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالُمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ. (رواه الترمذي وابو داوود والنسائي والحاكم وقال صحيح على شرط البخارى).
Dari Uqpah bin Amir r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang membaca al Qur’an dengan suara keras adalah seumpama orang yang memberikan sedekahnya secara terang-terangan, dan orang yang membaca al al Qur’an dengan suara perlahan adalah seumpama orang yang memberikan sedekahnya secara sembunyi-sembunyi.” (Hr. Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’I dan Hakim).
Kadangkala bersedekah dengan terang-terangan itu lebih baik jika hal itu dapat menimbulkan semangat bersedekah kepada orang lain atau untuk suatu kebaikan. Namun pada kesempatan yang lai, bersedekah dengan sembunyi-sembunyi itu lebih baik jika dikhawatirkan akan menimbulkan riya atau dianggap merendahkan orang lain. Demikian juga dengan membaca al Qur’an, kadangkala dengan suara keras itu lebih baik daripada dengan suara perlahan, jika bacaan itu menyebabkan orang lain bergairah membaca al Qur’an dan menyebabkan pahala bagi orang yang mendengarnya. Dan pada saat yang lain, membaca dengan perlahan itu lebih baik jika dapat mengganggu orang lain, atau dikhawatirkan riya atau karena lainnya. Oleh karena itu, baik membaca dengan suara keras atau pelahan, keduanya mempunyai keutamaan masing-masing. Kadangkala membaca dengan suara keras itu lebih sesuai, dan kadangkala membaca dengan suara pelahan lebih sesuai.
Banyak yang berdalil bahwa membaca dengan suara pelahan itu lebih baik, berdasarkan hadits sedekah yang disebutkan di atas. Imam Baihaqi menulis dalam kitab asy Syu’abu sebuah hadits dari Aisyah r.ha., (sebagai ulama melemakan hadits ini), “Amalan yang dikerjakan dengan sembunyi-sembunyi tujuh kali lipat lebih baik daripada amalan dengan terang-terangan.” Jabir r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Janganlah membaca al Quran terlalu keras sehingga tercampur suara yang satu dengan suara yang lain.”
Umar bin Abdul Aziz r.a. melihat seseorang yang membaca al Qur’an dengan suara keras di dalam masjid Nabawi, maka ia menghentikannya. Tetapi orang yang membaca itu menentangnya. Kemudian Umar bin Abdul Aziz r.a.berkata, “Jika kamu membacanya karena Allah, maka bacalah dengan perlahan. Namun jika kamu membacanya karena manusia, maka bacaanmu tidak ada gunanya.”
Selain itu, Nabi saw. juga memerintahkan agar membaca al Qur’an dengan suara keras. Dalam Syarah Ihya juga ditulis mengenai kedua cara tersebut, baik dalam riwayat hadits ataupun atsar sahabat r.a..
Hadits ke-32
عَنْ جَابِرٍ رضي الله اللهُ عنهُ عَنِ الَّنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ القُرْآنُ شَافِعٌ مُشَفَّعٌ وَمَا حِلٌ مُصَدَّقٌ مَنْ جَعَلَهُ اَمَامَهُ قَادَهُ اِلىَ الْجَنَّةِ وَمَنْ جَعَلَهُ خَلْفَ ظَهْرِه سَاقَطَهُ اِلى النَّارِ.(رواه ابن حبان والحاكم مطوّلا وصححه). 
Dari Jabir r.a. Nabi saw., beliau bersabda, “Al Qur’an adalah pemberi syafaat yang syafaatnya diterima dan sebagai penuntut yang tuntutannya dibenarkan. Barangsiapa menjadikan al Qur’an di depannya, maka ia akan membawanya ke Surga dan barangsiapa meletakannya di belakang, ia akan mencampakannya ke dalam neraka.” (Hr.Ibnu Hibbab dan Hakim).
Hadits di atas maksudnya adalah, jika al Qur’an member syafaat kepada seseorang, maka syafaatnya akan diterima oleh Allah. Barangsiapa yang dibela oleh al Qur’an, maka pembelaannya dibenarkan seperti telah dijelaskan dalam hadits ke-8 yang lalu. Barangsiapa yang memperhatikan al Qur’an, maka al Qur’an akan mengadukan kepada Allah agar meninggikan derjat mereka. Barangsiapa yang berpaling dari al Qur’an, maka al Qur’an akan menuntutnya, mengapa hak-haknya tidak ditunaikan. Barangsiapa meletakkan al Qur’an didepannya, yakni melaksanakan perintahnya dan menjadikannya sebagai paduan setiap perbuatannya, maka al Qur’an akan membawanya ke dalam Surga. Dan barangsiapa meletakan al Qur’an dibelakangnya, yakni tidak menaati ajarannya, maka ia akan dilemparkan ke neraka.
Menurut penyusun, tidak menghiraukan al Qur’an juga tidak termasuk meletakan al Qur’an dibelakang. Banyak hadits yang menyatakan ancaman bagi orang yang tidak mempedulikan al Qur’an. Dijelaskan dalam Shahih Bukhari dengan hadits yang panjang bahwa Allah Swt. telah memperlihatkan sebagian siksa-Nya kepada Nabi Saw.. Di antara siksa yang diperlihatkan kepada beliau adalah orang yang dipukulkan batu ke kepalanya dengan sangat keras sehingga kepalanya hancur. Nabi saw. diberitahu bahwa orang itu telah diajari al Qur’an, tetapi ia tidak mengamalkannya pada malam hari dan tidak mengamalkannya pada siang hari. Dan siksa itu berlansung hingga hari kiamat.
Semoga allah dengan kelembutan-Nya melindungi kita dari azab-Nya. Pada dasarnya, al Qur’an adalah nikmat yang sangat agung. Siapa yang melalaikannya, sudah sepatutnya ia mendapat siksa.
Hadits ke-33
عَنْ عَبْدِاللهِ بِنِ عُمَرَوَ رَضَىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصّـِيَامُ وَالقُرْآنُ يَشْفَعَانِ للِعَبْدِ، يَقُوْلُ الصّـيِامُ رَبِّ أِنّي مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ والشَّرابَ في النَّهارِ فَشَفِّعنِيْ فِيهِ، وَيَقُوْلُ القُرْآنُ رَبِّ اِنّيِ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللّيْلِ فَشَفِّعني فِيهِ فَيُشَفَّعَاَنِ. (رواه أحمد وابن ابي الدنيا والطبراني في الكبير والحاكم وقال صحيح على شرط مسلم).
Dari Abdullah bin Amr r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Shaum dan al Qur’an akan memberisyafaat bagi hamba (yang mengerjakannya). Shaum akan memohon, ‘Ya Allah, aku akan menghalanginya dari makan dan minum pada siang hari, maka teimalah syafaatku ini untuknya.’ Dan al Qur’an berkata, ‘Ya Allah, aku telah menghalangi dari tidur pada malam hari, maka terimalah syafaatku ini untuknya.’ Akhirnya kedua syafaat itu diterima.” (Hr. Ahmad, Ibnu Abi Dunya, dan Thabrani)
Dalam kitab at Targhib ini ditulis dengan tha’am dan syarab yang artinya makan dan minum, sebagaimana terjemahan di atas. Tetapi dalam riwayat Hakim kata syarab ditulis syahwat, yaitu tha’am dab syahwat yang berarti bahwa shaum itu menahan diri dari makan dan kesenangan nafsu. Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang yang bershaum hendaklah menjauhkan diri dari kesenangan nafsu, walaupun hal itu dibolehkan, seperti bermesraan dengan istri dan menciumnya.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa al Qur’an akan datang dalam bentuk seorang pemuda, lalu berkata, “Akulah yang membuatmu bangun pada malam hari dan membuatmu haus pada siang hari.” Hadits ini menyatakan bahwa seseorang hafizh al Qur’an hendaknya bangun pada malam dan membaca al Qur’an dalam Tahajudnya, sebagaimana telah dijelaskan hal ini dalam berbagai ayat, misalnya:
“Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu.” (Qs. Al Isra [7] :79)
“Dan pada sebagian malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbilah kepada-Nya pada bagian yang panjang pada malam hari.” (Qs. Al Insan 76]:26)
“Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu pada malam hari, sedang mereka juga bersujud (shalat).”(Qs. Ali Imran [3] :113)
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (Qs. Al Furqan [25] :64)
Sebuah hadits meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. dan para sahabat pada seluruh malamnya sering sibuk dengan tilawat al Qur’an. Diriwayatkan bahwa Utsman r.a. kadangkala mengkhatamkan seluruh al Qur’an hanya dalam satu rakaat shalat Witir. Abdullah bin Zubair r.a. sering mengkhatamkan al Qur’an dalam satu malam. Sa’id bin Jubairrah.a. mengkhatamkan al Qur’an dalam dua rakaat shalat di dalam Ka’bah. Tsabit al Banani rah.a. sering mengkhatamkan al Qur’an dalam sehari semalam. Abu Harrah juga sering melakukan demikian. Abu Syaikh Hana’Ir.a. berkata, “Aku dapat mengkhatamkan al Qur’an dua kali dalam se,alam ditambah sepuluh juz. Bahkan jika aku mau, aku dapat mengkhatamkannya tiga kali.”
Dalam perjalanan menunaikan haji, Shalih bin Kisan rah.a. mengkhatamkan al Qur’an dua kali setiap malamnya. Manshur bin Zadzan rah.a. juga mengkhatamkan al Qur’an satu kali dalam shalat Dhuha dan satu kali lagi antara Zhuhur dan Ashar, dan selalu menghabiskan waktu malamnya dengan shalat Nafil. Begitu lamanya ia menangis sehingga ujung sorbannya basah oleh ari mata. Selain mereka, masih banyak orang yang telah biasa melakukan hal tersebut sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad bin Nasr dalam kitab Qiyamul Lail.
Dalam Syarh Ihya diterangkan bahwa dalam mengkhatamkan al Qur’an para ulama kita dahulu memiliki berbagai kebiasaan. Sebagaimana mereka ada yang mengkhatamkan al Qur’an satu kali setiap hari sebagaimana yang bisa dilakukan oleh Iman Syafi’I di luar bulan Ramadhan. Ada juga yang mengkhatamkan al Qur’an dua kali setiap hari, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam bulan Ramadhan. Demikian juga yang dilakukan oleh Aswad, Shalih bin Kisan, Sa’id bin Jubair rah.a., dan masih banyak lagi.
Ada juga sebagian mereka yang mengkhatamkan al Qur’an tiga kali setiap hari, seperti kebiasaan Sulaim bin Atarrah.a., seorang tabi’in yang mashur. Ia pernah turut serta dalam penaklukkan Mesir pada masa sahabat Umar r.a.. ia juga pernah diangkat sebagai penguasa Qasas oleh Mu’awiyah r.a.. Dan ia biasa mengkhatamkan mengkhatamkan al Qur’an tiga kali setiap malamnya.
Imam Nawawi rah.a. menulis dalam kitab al Adzkar bahwa orang yang biasa mengkhatamkan al qur’an paling banyak dalam sehari semalam adalah Ibnu Khatib. Ia selalu mengkhatamkan al Qur’an delapan kali sehari semalam.
Ibnu Qudamah meriwayatkan dari Ahmad bin Hambal rah.a. bahwa tidak ada batasan dalam hal tilawat al Qur’an, hal itu bergantung kepada semangat orang yang membacanya.
Para ahli sejarah menyebutkan bahwa Imam a’zham (Imam Hanafi rah.a.) pernah mengkhatamkan al Qur’an 61 kali dalam sebulan Ramadhan, yaitu satu kali pada siamh hari, satu kali pada malam hari, dan satu kali pada shalat Tarawih.
Tetapi Rasulullah saw. bersabda, “Mengkhatamkan al Qur’an kurang dari tiga hari, maka sulit untuk merenungkannya.” Karena alas an inilah Ibnu Hazam rah.a. dan ulama lainnya berpendapat bahwa mengkhatamkan al qur’an kurang dari tiga hari adalah haram.
Menurut penyusun, hadits ini disesuaikan dengan kedaan umum, sebab jika hal itu dilarang, tentu tidak aka nada riwayat mengenai sebagian sahabat yang mengkhatamkan al Qur’an kurang dari tiga hari. Sehingga jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada batasan dalam mengkhatamkan al Qur’an , lebih atau kurang dari tiga hari tidakmasalah. Jadi dalam jangka beberapa harisaja diperbolehkan, asalkan ia dapat mengkhatamkan dengan mudah.
Sebagian ulama berpendapat bahwa jangan sampai mengkhatamkan al Qur’an lebih dari empat puluh hari. Oleh karena itu, al Qur’an hendaklah dibaca setidak-tidaknya kurang lebih ¾ juz setiap hari. Jika ada hari yang tidak ditunaikan, maka hendaknya diganti keesokan harinya. Dengan demikian, al Qur’an dapat di khatamkan dalam empat puluh hari. Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu tidaklah begitu penting. Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwa mengkhatamkan al qur’an kurang dari empat puluh hari adalah lebih baik. Pendapat ini didukung oleh beberapa hadits Nabi saw,. diantaranya yang dikutip oleh penyusun kitab Majma’uz Zawa’id yaitu:
“Barangsiapa mengkhatamkan al Qur’an dalam empat puluh hari, sungguh ia telah berlambat-lambat."
Sebagian ulama berfatwa, al Qur’an hendaknya dikhatamkan sekali dalam sebulan. Dan yang lebih baik lagi adalah setiap tujuh hari sekali. Inilah kebiasaan para sahabat r.a., mereka mulai membacanya pada hari jum’at dan setiap harinya membaca manzil selama tujuh hari, maka al ur’an dapat dikhatamkan pada hari kamis.
Imam Abu Hanifah rah.a. berpendapat bahwa hak al Qur’an adalah dikhatamkan dua kali dalam setahun, tidak kurang dari itu.
Sebuah hadits menyebutkan, “Jika al Qur’an dikhatamkan pada siang hari, maka para malaikat akan mendoakan rahmat baginya pada hari itu. Jika al Qur’an dikhatamkan pada malam hari, para malaikat akan mendoakan rahmat baginya pada malam itu.” Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama menyimpulkan bahwa mengkhatamkan al Qur’an ketika musim panas sebaiknya dilakukan pada permulaan siang. Dan ketika musim dingin dilakukan pada permulaan malam, agar malaikat dapat mendo’akan lebih lama.
Hadits ke-34
عَنْ سَعِيْد بْنِ سُلَيمٍ رضي الله عنهُ مُرْسَلاً قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ شَفِيْعٍ اَفْضَلُ مَنْزِلَةً عِنْدَاللهِ يَوْمَ القِيَامَوِ مِنَ القُرْآنِ لَا نَبِيٌّ وَلَا مَلَكٌ وَلَا غَيْرُهُ. (قال العراقي رواه عبد الملك بن حبيسب كذا في شرح الأحياء).
Dari Sa’id bin Sulaim r.a. secara mursal bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada pemberi syafaat (penolong) yang lebih utama derajatnya di sisi Allah pada hari Kiamat daripada al Qur’an. Bukan Nabi, bukan malaikat, dan bukan pula yang lain.” (Hr. Abdul Malik bin Habib-Syarah Ihya)
Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa al Qur’an adalah pemberi syafaat yang syafaatnya pasti dikabulkan AllahSwt.. Semoga Allah dengan kemulian-Nya menjadikan al Qur’an sebagai syafaat bagi kita, bukan sebagai penuntut atau penentang kita. Al Bazzar rah.a. meriwayatkan dalam kitab La’aali Mashnu’ah bahwa jika seseorang meninggal dunia, sementara dirimahnya orang-orang sibuk menyediakan kain kafan dan persiapat pengebumian, tiba-tiba ada seseorang yang sangat tampan berdiri dikepala si mayit. Ketika kain kafan mulai dikenakan, ia berada diantara dada dan kain kafan itu. Ketika sudah dikuburkan dan orang-orang mulai meninggalkannya, datanglah dua malaikat, yaitu Munkar dan Nakir yang berusaha memisahkan orang tampan itu dari mayat agar memudahkan proses Tanya jawab. Namun orang tampan itu berkata, “Orang ini adalah sahabat karibku. Dalam keadaan bagaimanapun, aku tidak bisa meningalkannya. Jika kalian ditugaskan menanyainya, lakukanlah tugas kalian. Aku tidak akan berpisah dengannya sehingga ia dimasukkan ke dalam Surga.” Lalu ia berpaling kepada sahabatnya dan berkata, “Aku adalah al Qur’an yang telah engkau baca kadangkala dengan suara keras dan kadangkala dengan perlahan. Jangan khawatir, setelah menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir ini engkau tidak akan lagi mengalami kesulitan.” Setelah para malaikat itu selesai member paetanyaan, ia menghamparkan tempat tidur dan permadani sutera yang penuh dengan kasturi dariMala’il A’la. Semoga Allah dengan karunia-Nya menganugerahkan hal itu kepada kita.
Hadits ke-35
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرٍى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَرَأ القُرآنَ فَقَدِ اسْتَدْرَجَ النُّبُوَّةَ بَيْنَ جَنْبيْهِ غَيْرَ اَنَهُ لَا يُوْحى اِلَيهِ لَا يَنْبَغِىْ لِصَاحِبِ القُرآنِ اَنْ يَجِدَ مَعَ مَنْ وَجَدَ وَلَا يَجْهَلَ مَعَ مَنْ جَهِلَ وَفيْ جَوْفِه كَلَامُ اللهِ. (رواه الحاكم وقال صحيح الأسناد).
Dari Abdullah bin Amr r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membaca al Qur’an, maka ia telah menyimpan ilmu kenabian diantara kedua lambungnya, sekalipun wahyu tidak diturunkankepadanya. Tidak pantas bagi hafizh al Qur’an memarahi seorang pemarah dan bertindak bodoh terhadap orang bodoh, sedang al Qur’an berada dalam dadanya.” (Hakim ~ at Targhib)
Disebabkan wahyu kepada Nabi saw. telah terhenti, maka dengan demikian wahyu tidak akan turun lagi. Tetapi karena al Qur’an adalah Kalamullah yang suci, maka tidak menutup kemungkinan ilmu Nubuwwah belum tertutup. Orang yang telah memperoleh ilmu Nubuwwah, sangat penting baginya untuk menunjukan akhlak mulia dan menjauhi akhlak yang buruk. Fudhail bin ‘Iyadh rah.a. berkata, “Seorang hafizh al Qur’an adalah pembawa bendera Islam. Sangat tidak pantas baginya bercampur gaul dengan ahli maksiat dan orang-orang yang berbuat lalai atau tidak berguna.”
Hadits ke-36
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِى الله عَنْهًما قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاَثَةٌ لَا يَهُوْلُهُمُ الْفَزَعُ الأكْبَرُ وَلَا يَنَالهُمُ الحِسَابُ هُمْ عَلى كَثِيبٍ مِنْ مِسكٍ حَتَّى يُفْرَغَ مِنْ حِسَابِ الخَلائِقِ رَجُلٌ قَرأَ القُرآنَ ابْتِغَآْءَ وَجْهِ اللهِ وَاَمَّ قَوْماً وَهُمْ بِهِ رَاضُوْنَ وَدَاعٍ يَدْعُوْنَ إلى الصَّلواتِ ابْتِغآء وجْهِ اللهِ وَرَجُلٌ اَحْسَنَ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَوَالِيهِ. (رواه الطبراني في معاجم الثلاثة).
Dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Tiga orang yang tidak akan mengalami ketakutan pada hari yang sangat menakutkan dan mereka tidak akan dihisab, mereka berada diatas tumpukan kasturi hingga selesai hisab terhadap semua manusia: (1) Seseorang yang membaca al Qur’an semata-mata mengharap ridha allah, dan ia mengimami suatu kaum sedang mereka menyukainya; (2) Da’I yang mengajak shalat semata-mata mengharap ridha Allah Swt.; (3) Orang yang menjaga hubungan baik antara ia dengan tuannya dan antara ia dengan bawahannya.” (Hr. Thabrani ` al Mu’jamuts Tsalatsah).
Adakah seorang muslim yang tidak menyadari, bahkan tidak memikirkan tentang kehebatan, kesedihan, kengerian, bencana, dan kesusahan hari Kiamat? Jika ada sesuatu yang dapat membuat kita tenang dari bencana hari Kiamat, maka hal itu lebih berharga daripada beribu-ribu kenikmatan dan berjuta-juta kesenangan. Sungguh ia telah mendapat kebahagiaan yang sangat besar apabila ketenangan itu ditambah dengan kegembiraan dan kesenangan.
Sungguh celaka dan merugi orang yang mengira bahwa membaca al Qur’an adalah perbuatan sia-sia dan membuang-buang waktu. Tertulis dalam Mu’jiam al Kabir bahwa perawi pertama dalam hadits di atas ialah Abdullah bin Umar r.huma. yang ia mengatakan, “Apabila aku tidak mendengar hadits ini dari Rasulullah saw. sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi, (diulang sampai 7 kali), maka aku tidak akan meriwayatkannya.”
Hadits ke-37
عَنْ اَبيْ ذَرٍ رَضِى اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلمَ: يَا اَبَا ذَرّ ٍ لَاَنْ تَغْدُ وَفَتَعَلَّمَ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللهِ خَيْرٌ مِنْ تُصَلي مِائَةَ رَكْعةٍ وَلَاَنْ تَغْدُوَ وَتَعَلَّمَ باباً مِنَ الِعلمِ عُمِلَ بِهِ اَوَ لَمْ يُعْمَلُ بِهِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ تُصَلّي الفَ رَكْعةٍ. (رواه ابن ماجه باسناد حسن).
Dari Dzar r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Abu Dzar, Sesungguhnya kepergianmu padapagi hari untuk mempelajari satu ayat dari kitab Allah itu lebih baik bagimu dari pada kamu Shalat seratus rakaat. Dan sesungguhnya kepergianmu pada pagi hari untuk mempelajari satu bab dari ilmu, baik diamalkan atau tidak, itu lebih baik bagimu daripada shalat seribu rakaat.” (Hr. Ibnu Majah)
Banyak riwayat hadits yang menyebutkan bahwa menuntut ilmu itu lebih utama dari pada ibadah. Selain hadits diatas, masih banyak hadits lainnya mengenai keutamaan menuntut ilmu yang tidak dapat dijelaskan seluruhnya disini. Di antaranya ialah sabda Nabi saw., “Keutamaan seseorang alim dibanding seorang ahli ibadah adalah seperti keutamaanku terhadap orang yang paling rendah diantara kalian.” Sabda beliau lainnya, “Satu orang alim lebih berat bagi syetan daripada seribu orang ahli ibadah.”
Hadits ke-38
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ عَشْرَ ايَاتٍ فيِ لَيْلَةٍ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الغَافِلِيْنَ. (رواه الحاكم وقال صحيح). 
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membaca sepuluh ayat pada malam hari, maka pada ia tidak akan dicatat dalam golongan orang-orang yang lalai.” (Hr. Hakim, shalih menurut syarat Muslim).
Hadits ke-39 
عَنْ اَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَفَظَ على هؤلَآءِ الصَّلواتِ المَكْتُوْبَاتِ لَمْ يُكتَبْ مِنَ الغَافِلِيْنَ وَمَنْ قَرَاْءَ فيِ لَيْلَةٍ مِائَةَ آيَةٍ كُتِبَ مِنَ القَانِتِيْنَ.(رواه ابن خزيمه في صحيحه والحاكم وقال صحيح على شرطها).
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menjaga shalat-shalat fardhu, maka tidak akan dicatat dalam golongan orang-orang yang lalai. Dan barangsiapa membaca seratus ayat pada malam hari, maka ia akan dicatat dalam golongan orang-orang yang taat.” (Hr. Ibnu Khuzaimah, Hakim, Shahih menurut syarat Bukhari Muslim).
Hasan Basri rah.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membaca seratus ayat al Qur’an pada malam hari, maka ia akan diselamatkan dari tuntutan al Qur’an. Barangsiapa membaca dua ratus ayat, maka akan mendapat pahala ibadah sehari semalam dan barangsiapa membaca lima ratus sampai seribu ayat, maka akan mendapatkan satu qinthar.” Sahabat bertanya, “Apakah qinthar itu?” beliau bersabda, “senilai 12.000 (dirham atau dinar).”



Hadits ke-40
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضى الله عنهُما قال: نَزَلَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلامُ عَلى رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَاَخْبَرَهُ اَنَّهُ سَتَكَونُ فِتَنٌ، قَالَ فَمَا الُمُخْرَجُ مِنْها يَا جِبْرِيْلُ قَالَ كِتَابُ اللهِ.(رواه رزين كذا في الرحمة المهداة).
Dari Ibnu Abbas r.a., ketika Jibril mengabarkan kepada Nabi saw. Bahwa akan terjadi banyak fitnah. Beliau bertanya, ‘Apakah jalan keluar darinya, wahai Jibril?’ Jawab Jibril, “Kitabullah.” (Razin – Ar Rahmatul Muhdah).
Mengamalkan isi al Qur’an akan menjauhkan diri kita dari fitnah, dan keberkahan dari membacanya dapat menyelamatkan kita dari fitnah. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits ke-22, bahwa rumah yang didalamnya dibacakan al Qur’an, maka sakinah dan rahmat akan turun kedalam rumah itu, dan syetan-syetan akan keluar dari rumah itu.
Para ulama menafsirkan bahwa maksud fitnah di sini adalah kemunculan Dajjal, kekejaman bangsa Tartar, dan lain-lain. Ali karamallahu wajhah juga meriwayatkan hadits seperti itu dengan panjang lebar. Ali r.a, memerintahkan bahwa Nabi Yahya a.s. berkata kepada Bani Israil, “Allah telah memerintahkan kalian agar membaca kalam-Nya. Dan perumpamaannya adalah seperti suatu kaum yang terpelihara dalam bentengnya, sehingga dari manapun musuh menyerang, maka kalian akan dapati kalimat Allah sebagai penjaga dan pelindung dari mereka