Bacaan Quran dengan langgam Jawa ternyata masih menjadi topik yang sangat menarik. Banyak kalangan yang mempertanyakan mengenai keabsahan bacaan tersebut. Jika dilihat bagaimana Qari membacakan ayat al-Quran tersebut, nampak tidak ada upaya melecehkan al-Quran. Ia terlihat khusyu dan berusaha setartil mungkin sesuai kemampuan yang ia miliki.
Bacaan seni tilawah tersebut memang tidak lazim. Selama ini yang umum digunakan adalah seni tilawah yang datangnya dari luar Indonesia. Sebelumnya sesungguhnya sudah ada beberapa Qari Indonesia yang membacakan Quran dengan langgam Jawa. Hal ini bisa dicek di youtube. Bahkan sebagian ada yang melagukannya sampai satu juz penuh. Hanya saja karena sifatnya individual dan tidak dibacakan di ranah publik, sehingga tidak menimbulkan kontraversi.
Bacaan seni tilawah tersebut memang tidak lazim. Selama ini yang umum digunakan adalah seni tilawah yang datangnya dari luar Indonesia. Sebelumnya sesungguhnya sudah ada beberapa Qari Indonesia yang membacakan Quran dengan langgam Jawa. Hal ini bisa dicek di youtube. Bahkan sebagian ada yang melagukannya sampai satu juz penuh. Hanya saja karena sifatnya individual dan tidak dibacakan di ranah publik, sehingga tidak menimbulkan kontraversi.
Membaca al-Quran dengan langgam daerah, baik Jawa, Melayu, Dayak, Kurdi, Turki, Persia, dan lain sebagai hukumnya boleh dengan dua syarat, Pertama; tetap memperhatikan hak al-Quran, yaitu membacanya secara tartil. Ini sesuai dengan firman Allah:
Artinya: Bacalah Al-Quran secara tartil. (QS. Al-Muzammil: 4)
Ayat di atas menggunakan kata perintah (fiil amr). Dalam bahasa Arab, kata perintah menunjukkan sebuah kewajiban. Jadi membaca al-Quran secara tartil, hukumnya wajib.
Kedua: Memperhatikan etika dalam membaca al-Quran. Para ulama meletakkan standar etika dalam membaca al-Quran. Ada banyak etika, namun di sini saya sebutkan beberapa poin saja, di antaranya
- Membacanya sebaiknya dalam kondisi bersuci.
- Membaca dengan suara yang bagus.
- Sabar ketika menghadapi kesulitan dalam membaca al-Quran
- Dibaca secara khusyu
- Membacanya tidak untuk main-main.
- Membacanya tidak untuk tujuan melecehkan al-Quran.
- Membaca karena niat beribadah dan bukan semata untuk mencari ketenaran.
- Membaca secara ikhlas
- Membaca dengan merenungi makna yang terkandung di dalamnya. Jadi, ketika dua syarat tadi sudah terpenuhi, maka membaca dengan sei tilawah apapun hukumnya boleh. Mengapa boleh? Ada beberapa alasan yang bisa dikemukanan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( ليس منا من لم يتغن بالقرآن – وزاد غيره – يجهر به
Artinya: “Bukan dari golonganku orang yang membaca al-Quran dengan tanpa melagukan. (HR Bnukhari).
- Hadis di atas menunjukkan mengenai perintah untuk melagukan al-Quran.
- Perintah melagukan dalam hadis di atas bersifat umum dan tidak ada ketentuan khusus mengenai lagu apa yang harus digunakan. Karena ia bersifat umum, maka melagukan al-Quran dengan lagu apapun boleh selama memperhatikan dua aspek di atas, yaitu tartil dan memenuhi etika bacaan al-Quran.
- Tidak ada nas, baik dari Quran atau hadis nabi yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw membaca al-Quran dengan seni tilawah tertentu seperti seni tilawah yang sudah dikenal saat ini.
- Tidak ada atsar sahabat atau tabiin yang menunjukkan bahwa para sahabat dan tabiin membaca al-Quran dengan seni tilawah tertentu seperti seni tilawah yang sudah dikenal saat ini.
- Tidakadanya hadis Nabi maupun atsar sahabat dan tabiin tersebut menunjukkan bahwa seni tilawah seperti yang sudah masyhur, muncul di kalangan ulama khalaf dan bukan dari generasi salaf.
- Ini artinya bahwa seni tilawah merupakan perkara yang sifatnya ijtihadi. Karena ia ijtihadi, maka bisa berubah menyesuaikan ruang waktu.
- Jika seni tilawah dibakukan dan diwajibkan bagi setiap insan muslim, tentu ini akan memberatkan hamba. Hal ini karena tidak semua insan muslim mempunyai bakat seni tilawah yang sama dan tidak mempunyai kemampuan membaca al-Quran sesuai dengan seni tilawah yang sudah masyhur tersebut.
- Jika ia memberatkan hamba, bearti ia bertentangan dengan hadis Nabi yang menyatakan:
الدين يسر
Artinya: Agama itu mudah (HR Bukhari) Juga bertentangan dengan firman Allah:
لا يكلف الله نفسا الا وسعها Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS.Al-Baqarah : 286).
Ayat di atas menunjukkan bahwa kita beribadah sebatas dengan kemampuan yang kita miliki dan bahwa Allah tidak akan membebani hamba melebihi kemampuan kita. Jika membaca al-Quran wajib dengan lagu yang sudah ditentukan tadi, tentu ini akan memberatkan bagi mereka yang tidak punya bakat membaca Quran dengan standar seni tilawah tersebut.
- Seni tilawah sendiri sesungguhnya bisa dibagi menjadi dua, yaitu mujawwad dan murattal. Seni tilawah seperti Muammar, Qashim Nurseha, Maria ulfa, Abdul Basyid, Nuaina’ dan lain-lain masuk dalam seni tilawah mujawad. Ia mempunyai standar baku yang disepakati bersama.Ada pula seni tilawah yang tidak baku dan sangat subyektif bergantung kepada qari. Model seni tilawah ini disebut dengan murattal, seperti yang biasa dilagukan oleh Syaih Sudes, Syaih Ghumaidi, Syaikh Minsyawi dan lain sebagainya. Setiap Syaih mempunyai seni tilawah sendiri-sendiri. Tidak seorang ulama pun baik dari Barat maupun Timur yang mencela bacaan para masyayikh tersebut. Ini menunjukkan bahwa seni tilawah memang perkara ijtihadi dan boleh berubah sesuai kemampuan masing-masing.
- Al-Quran diturunkan untuk umat manusia dan bukan hanya untuk orang Arab saja. Seni membaca al-Quran juga bukan monopoli orang Arab. Buktinya, setiap kita dalam mengaji al-Quran mempunyai khas masing-masing dan tidak ada seorang ulama yang mengharamkanDari paparan di atas, jelaslah bahwa membaca al-Quran dengan seni tilawah daerah, termasuk juga dengan langgam Jawa dibolehkan secara syariat selama memenuhi hak al-Quran, yaitu membaca secara tartil dan sesuai dengan etika dalam membaca al-Quran. Wallahu alam
Sumber :http://almuflihun.com/hukum-membaca-al-quran-dengan-langgam-selain-arab-boleh/.
Apakah Alasan dan Dalil diatas Sudah cukup untuk menggunakan Langgam Daerah dalam membaca Kitab Suci Al-Quran ? silakan anda menilainya sendiri.
Bantahan dan Alasannya,mengapa dilarang membaca Al-quran dengan Langgam tertentu..?
---------------------------------Assalamu 'alaikum wr. wb.
Ustadz, ramai di media sosial perbedatan masalah hukum membaca Al-Quran dengan langgam Jawa. Ada yang mengharamkan dan ada juga yang membolehkan. Lalu bagaimana tanggapan ustadz dalam masalah ini, apakah hukumnya boleh atau tidak?
Mohon penjelasan yang adil dan seimbang serta mencerahkan. Terima kasih.
WassalamAssalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dalam masalah ini memang wajar terjadi perbedaan pandangan di antara banyak pihak. Sesama pihak-pihak yang memang ahli di bidang ilmu baca Al-Quran, yaitu para qari dan ulama qiraat pun kita menemukan perbedaan pendapat.
Dan lucunya, perbedaan pendapat ini pun menular juga di kalangan yang bukan ahlinya, yaitu mereka yang bukan qari' dan bukan pula ulama ahli qiraat. Mereka yang boleh jadi baca Qurannya pun masih ngalor-ngidul, blang bentong tidak karuan, tetapi tiba-tiba merasa menjadi ahli qiraat nomor wahid. Mereka ini dengan mudahnya menuding-nuding kesana kesini dan menyalah-nyalahkan siapa pun yang dianggapnya berseberangan cara pandang.
Kita harus maklum dengan kelakuan kalangan awam yang rasa sok tahu ini. Apalagi ada juga yang mengakit-ngaitkannya dengan urusan politik, sampai saya juga dapat SMS yang mengingatkan bahwa Indonesia layak dapat adzab dan dihancurkan Allah gara-gara pemerintah dzalim membiarkan masalah ini.
Sekilas buat sebagian kita mendengarkan Al-Quran dibaca dengan langgam Jawa ini memang terasa aneh. Karena biasanya yang kita dengar semuanya nada-nada bacaan Al-Quran itu khas timur tengah (middle east). Tetapi kali ini nada-nadanya punya nuansa khas tanah air, yaitu nada-nada Jawa. Buat yang biasa mendengarkan wayang, terasa ini bukan bacaan Al-Quran tetapi tembang-tembang khas di pewayangan.
Sehingga wajar bila ada yang terlalu mudah main haramkan saja, khususnya bila yang mendengar itu orang-orang Arab sana. Jangankan kuping mereka, kuping kita yang asli made in Indonesia pun merasa rada aneh. Tetapi apakah sekedar merasa aneh lantas hukumnya jadi haram?
Dalam hal ini sebaiknya kita yang awam ini jangan terlalu mudah main bikin fatwa sendiri. Ada baiknya kita serahkan kepada para ulama ahli qiraat yang memang ahlinya. Kalau pun ada perbedaan pendapat dari mereka, setidaknya kita tidak mengambil alih hal-hal yang bukan wewenang kita.
A. Pendapat Yang Mengharamkan
Ada beberapa ulama ahli qiraat yang sudah berfatwa tentang haramnya membaca Al-Quran dengan langgam Jawa ini. Salah satunya adalah Syeikh Ali Bashfar yang bermukim di Saudi Arabia. Salah seorang muridnya ada yang mengirimkan rekaman bacaan Al-Quran dengan langgam Jawa ini. Dan kemudian jawaban dari beliau berupa larangan.Kesalahan tajwid; dimana panjang mad-nya dipaksakan mengikuti kebutuhan lagu.
Kalau saya cermati apa yang beliau fatwakan itu, setidaknya saya mencatat ada empat masalah yang beliau tuturkan, antara lain adalah :
1. Kesalahan Lahjah
Kesalahan nomor satu dari rekaman yang diperdengarkan itu menurut beliau adalah kesalahan lahjah si pembacanya yang cenderung orang Jawa. Seharusnya lahjahnya harus lahjah Arab.
Dan banyak orang yang mengharamkan hal ini dengan berdalil kepada hadits berikut :
Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahlkitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya. (HR. Tarmidzi)
2. Dianggap Memaksakan Diri (Takalluf)
Kesalahan kedua dianggap adanya semacam sikat memaksakan, atau takalluf. Pembacanya dianggap terlalu memaksakan untuk meniru lagu yang 'tidak lazim' dalam membaca Al-Quran.
3. Dicurigai Ashabiyah
Ditambahkan lagi dalam fatwa beliau bahwa ada kecurigaan yang dianggap cukup berbahaya, yaitu bila ada niat merasa perlu menonjolkan kejawaan atau keindonesiaan. Hal ini dianggap membangun sikap ashabiyyah dalam ber-Islam. Padahal ashabiyah itu hukumnya haram.
4. Khawatir Memperolok Al-Quran
Dan yang paling fatal jika ada maksud memperolok-olokkan ayat-ayat Allah yang mereka samakan dengan lagu-lagu wayang dalam suku Jawa.
Maka dengan dasar empat masalah di atas dianggap bahwa membaca Al-Quran dengan langgam Jawa itu tidak boleh dilakukan. Nampaknya fatwa beliau ini kemudian disebar-luaskan di berbagai media, dan siapapun bisa membacanya.
B. Pendapat Yang Membolehkan
Sementara kita juga menemukan ulama ahli qiraat di Indonesia, sebut saja misalnya KH. Prof. Dr. Ahsin Sakho Muhammad. Beliau seorang pakar ilmu yang langka: ilmu-ilmu Al-Quran. Lulus sebagai doktor dari Jamiah Islamiyah Madinah dengan prestasi mumtaz syaraful ulaa alias cumlaude. Kiprah beliau di dunia ilmu qiraat di Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi. Beliau pernah menjadi rektor dan guru besar di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta dan menjadi team pentashih terjemahan Al-Quran di Departemen Agama RI.
Kalau kita tanyakan masalah ini kepada beliau, nampaknya pandangan jauh beliau lebih luas. Barangkali karena beliau memang orang Indonesia asli yang paham betul karakter bacaan Al-Quran bangsa ini. Beliau mengatakan sebagai berikut :
"Ini adalah perpaduan yang baik antara seperti langit kallamullah yang menyatu dengan bumi yakni budaya manusia. Itu sah diperbolehkan. Hanya saja, bacaan pada langgam budaya harus telap berpacu seperti yang diajarkan Rasul dan para sahabatnya. Dalam hal ini, tajwid dalam hukum bacaannya, panjang pendeknya dan mahrajnya".
Lalu bagaimana dengan hadits yang mana Rasulullah SAW mengharamkan kita menggunakan langgam selain Arab? Terjemahan haditsnya kurang lebih seperti berikut ini :
Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahlkitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya. (HR. Tarmidzi)
Maka dari sisi derajat hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah alias tidak perlu dipakai.
b. Langgam Arab Yang Mana?
Negeri Arab di masa Rasulullah SAW sangat sempit dan terbatas, seputar Mekkah, Madinah dan kisaran jaziarah Arabia saja. Di luar itu tidak pernah disebut Arab. Habasyah, Mesir, Yaman, Palestina, Suriah, Iraq, Iran di masa itu masih bukan Arab. Agama yang dianut penduduknya bukan agama Islam, mereka dianggap sebagai bangsa-bangsa kafir non Arab. Bahkan bahasa mereka pun juga bukan bahasa Arab.
Jadi kalau pun hadits Rasulullah SAW yang dhaif itu masih mau dipaksa-paksa juga untuk dipakai, tetap saja tidak tepat. Seandainya hadits itu dibilang shahih, dan larangan Rasulullah SAW itu 'terpaksa' kita ikuti juga, maka nagham atau irama cara baca Al-Quran yang kita kenal selama ini pun harusnya terlarang. Sebab nagham Bayyati, Shoba, Nahawand, Hijaz, Rost, Sika, dan Jiharka itu bukan dari Mekkah atau Madinah, bahkan bukan dari Jaziarah Arab.
Ketujuh jenis nagham itu malah berasal dari Iran. Dan Iran di masa Rasulullah SAW bukan negeri Arab. Bahkan sampai hari ini pun tidak pernah dianggap sebagai negara Arab. Pemerintah Iran sendiri pun tidak pernah mengaku-ngaku sebagai negara Arab. Bahasa resmi mereka pun juga bukan bahasa Arab melainkan bahasa Persia.
Jadi kalau mau melarang langgam Jawa misalnya, maka tujuh langgam yang sudah kita kenal sepanjang sejarah Islam itu pun harus dilarang juga, lantaran bukan langgam Arab sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah SAW.
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Lebih lanjut beliau menambahkan :
"Cara membaca Al-Quran yang mengacu pada langgam budaya Indonesia sangat diperbolehkan dan tidak ada dallil shahih yang melarang hal demikian. Hanya saja, saya belum pernah mendengar 'jawabul jawab' di dalam langgam Cina, atau pun di Indonesia. Tetapi jika hanya sekedar langgam Jawa, Sumatra, Sunda, Melayu dan lainnya itu sah saja, selama memperhatikan hukum bacaan semestnya. Itu kratifitas budayanya".
1. Hadits Larangan Selain Langgam Arab
a. Sanad Yang Lemah
Dari sisi sanad sebenarnya kalau ditelurusui kedudukan hadis ini tersebut tergolong dalam hadis dha'if (lemah). Karena salah satu sanad perawinya ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif. Bahkan ada muhaddits yang mengatakan bahwa hadits ini termasuk munkar dan bukan termsuk hadist.
2. Lahjah Tidak Benar
Lahjah yang dianggap tidak benar oleh Syeikh Ali Basfar itu boleh jadi memang demikian. Maksudnya si pembacanya dianggap kurang baik bacaannya. Dan itu biasa, semua yang pernah ikut daurah Al-Quran dengan beliau pasti pernah merasakan disalah-salahkan ketika dianggap lahjah kita kurang pas di telinga beliau.
Namun kita harus membedakan antara lahjah dengan langgam. Yang beliau kritisi adalah lahjahnya yang kurang tepat dan itu harus diakui. Membaca Al-Quran memang harus dengan lahjah yang benar. SIfat-sifat huruf, makharijul huruf dan juga hukum-hukum yang berlaku pada ilmu tajwid memang wajib ditaati dan dijalankan dengan benar.
Tetapi langgam adalah sesuatu yang lain dan berbeda. Karena langgam merupakan irama atau nada, bukan lahjah. Contoh mudahnya, ketika membunyikan huruf shad, pipi harus kembung. Huruf ra' kadang harus dibaca tebal kadang harus tipis. Ini semua adalah lahjah dan bukan irama.
Sedangkan langgam itu adalah irama dan nada, sama sekali tidak ada hubungannya dengan titik artikulasi, pelafalan huruf ataupun hukum-hukum seperti idzhar, idgham, iqlab dan ikhfa'. Dan kalau sudah masuk wilayah irama dan nada, tiap bangsa dan tiap negeri pasti punya ciri khas yang identik dan tidak bisa dipisahkan.
Kalau kita mendengar orang Cina asli di Tiongkok sana sedang membaca Al-Quran, pasti kita akan merasakan ada 'nada-nada' khas Cina. Begitu juga kalau kita dengar orang Melayu membaca Al-Quran, kita akan merasakan nuansa khas nada-nada kemelayuan. Apakah ini dianggap melanggar ketentuan membaca Al-Quran? Jawabnya tentu tidak sama sekali.
Tetapi ketika orang Jawa keliru membunyikan huruf 'ain menjadi 'ngain', atau huruf ha' dibaca menjadi 'kha' atau huruf ba' yang dibunyikannya lebih nge-bass karena lahjah Jawanya, disitulah letak kekeliruan yang harus diluruskan. Adapun nada bacaan yang terasa nada Jawa selama tidak menyalahi hukum-hukum bacaan, tentu tidak jadi masalah.
3. Langgam Jawa = Menghidupkan Ashabiyah?
Adapun masalah membaca Al-Quran dianggap menghidupkan ashabiyah, jelas sekali bahwa yang jadi masalah bukan pada langgamnya tetapi pada niat dan tujuan untuk menghidupkan ashabiyah. Kalau memang niatnya semata-mata ingin menghidup-hidupkan ashaiyah, tentu saja hukumnya haram.
Tetapi bagaimana kita bisa pastikan bahwa yang membacanya punya niat tersebut? Lantas bagaimana kalau si pembacanya sama sekali tidak punya niatan dan maksud untuk menghidup-hidupkan ashabiyah? Apakah kita tetap memaksanya harus ashabiyah?
Ketika kita menyanyikan lagu Indonesia Raya, bukankah itu juga ashabiyah? Ketika kita mengibarkan sang saka Merah Putih, bukankah itu ashabiyah? Apakah haram kita menyanyikannya dan mengibarkan bendera Merah Putih?
4. Langgam Jawa = Menjelekkan Al-Quran
Apalagi kalau dikatakan bahwa langgam Jawa itu dianggap menjelekkan Al-Quran. Tentu sifatnya sangat subjektif sekali. Apa benar qari yang lahjahnya sempurna, tajwidnya benar dan suaranya fasih luar biasa, ketika membaca Al-Quran dengan langgap Jawa lantas niatnya ingin mengolok-ngolok dan menjelekkan Al-Quran?
Kesimpulan
Apa yang saya tulis di atas semuanya bukan pendapat saya, tetapi hanya hasil kutipan dan saduran dari pendapat para pakar ilmu qiraat semata. Dan kalau ada dua pendapat yang saling bertentangan, kita harus maklum. Namanya saja masalah ijtihad, para ahlinya silahkan berbeda pendapat.
Sementara kita yang bukan ahli ilmu qiraat, apalagi yang kualitas bacaan Al-Qurannya masih parah dan bermasalah besar, sebaiknya kita menahan diri untuk tidak ikut-ikutan berfatwa. Biarkan saja para pakarnya yang berbeda pendapat, sebab mereka memang ahlinya. Mereka berhak dan punya kompetensi untuk itu.
Adapun kita, mari kita duduk manis saja mendengarkan para pakar berbeda pendapat, tidak perlu merasa jadi pahlawan kesiangan di bidang yang sama sekali bukan keahlian kita.
Dari pada bikin komen terlalu jauh ternyata kurang tepat, lebih baik kita tahu diri. Saya sendiri agak segan menuliskan masalah ini, karena tahu persis bahwa para pakarnya saja sudah berbeda pendapat. Jangan pula bertanya saya ikut yang mana.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sumber:http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1431011215&=baca-quran-langgam-jawa-haramkah.htm
No comments:
Post a Comment