Kapan Al Fatihah Dibaca?
Telah dibahas pada tulisan sebelumnya, khilaf ulama mengenai hukum membaca Al Fatihah bagi makmum. Dan yang kami pandang rajih adalah yang dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu makmum wajib membacanya dalam shalat sirriyyah1 dan tidak wajib membaca Al Fatihah dalam shalat jahriyyah2 ketika imam membacanya. Namun bagi yang berpegang pada pendapat wajibnya membaca Al Fatihah pada shalat jahriyah secara mutlak, ada pertanyaan baru: kapan Al Fatihah dibaca?
Seorang makmum wajib mengikuti imam, tidak boleh mendahului atau menyamai imam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنما جُعِلَ الإمامُ لِيُؤْتَمَّ به، فإذا كَبَّرَ فكَبِّروا ، وإذا ركَعَ فاركعوا ، وإذا سجَدَ فاسجدوا ، وإن صلى قائمًا فصلوا قيامًا
“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti. Jika imam bertakbir maka bertakbirlah, jika ia ruku, maka rukuklah. jika ia sujud maka sujudlah jika ia shalat sambil berdiri maka shalatlah sambil berdiri” (HR. Al Bukhari 378, Muslim 411).
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “dan dalam hadits ini ada kewajiban bagi makmum untuk mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk rukuk, sujud. Dan itu dilakukan oleh makmum setelah imam melakukannya. Maka makmum ber-takbiratul ihram setelah imam selesai takbiratul ihram. Jika itu dilakukan sebelum imam selesai maka tidak benar shalatnya. Dan makmum rukuk setelah imam rukuk sempurna dan sebelum imam bangkit dari rukuk. Jika makmum menyamai imam, atau mendahuluinya, maka menjadi jelek shalatnya, namun tidak sampai batal” (Syarah Shahih Muslim, 4/132).
Dengan demikian, bagi yang berpendapat wajibnya makmum membaca Al Fatihah, hendaknya tidak membacanya bersamaan dengan bacaan imam atau malah mendahului imam. Dalam hal ini para ulama memberikan beberapa beberapa alternatif:
Jika ada saktah (jeda antara bacaan ayat) dalam bacaan Al Fatihah imam, maka ketika itu makmum membaca Al Fatihah. Misal, jika antara alhamdulillahirabbil ‘alamin dan ar rahmanirrahim ada saktah, maka ketika itu makmum membaca alhamdulillahirabbil ‘alamin.
Jika ada saktah dalam bacaan ayat Al Qur’an imam (setelah amin), maka ketika itu makmum membaca Al Fatihah. Alternatif pertama dan kedua ini afdhal, karena tetap mengamalkan dalil yang memerintahkan makmum mendengarkan bacaan imam.
Jika dua alternatif di atas tidak memungkinkan maka makmum boleh membaca Al Fatihah ketika imam sedang membaca ayat Al Qur’an (setelah amin).
Jika tiga alternatif di atas tidak memungkinkan juga maka makmum boleh membaca Al Fatihah bersamaan dengan imam.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “jika anda menjadi makmum, maka disyariatkan membacanya secara langsung setelah imam membaca Al Fatihah. Maka bacalah Al Fatihah walaupun ketika itu imam sedang membaca. Dan terkadang itu memang menimbulkan kesulitan karena anda membaca sementara imam juga membaca. Lebih lagi jika imam membacanya dengan menggunakan pengeras suara. Namun kami katakan, lalui saja dan bersabarlah, karena barangsiapa yang bersabar ia akan menang” (Majmu Fatawa War Rasail, 13/128).
Lalu bagaimana dengan makmum masbuq, yang mendapati imam sudah rukuk atau sudah akan rukuk? Apakah ia tetap membaca Al Fatihah? Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, “masbuq jika ia masuk ke dalam shalat ketika imam sudah rukuk, atau sebelum rukuk namun tidak memungkinkan lagi untuk membaca Al Fatihah, maka dalam keadaan ini kewajiban membaca Al Fatihah gugur darinya” (Majmu Fatawa War Rasail, 13/128).
Disambung atau dipotong?
Al Fatihah dianjurkan dibaca dengan berhenti setiap ayatnya, namun jika disambung juga tidak mengapa. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, “Al Fatihah dibaca secara mu’rab, berurutan, dan bersambung. Dan dianjurkan untuk memisahkan antara ayat, sehingga yang membaca akan berhenti 7 kali. Alhamdulillahirabbil ‘alaimin. Berhenti. Ar rahmanirrahim. Berhenti. Maliki yaumiddin. Berhenti. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Berhenti. Ihdinas shiratal mustaqim. Berhenti. Shiratalladzina an’amta ‘alaihim. Berhenti. Ghairil maghdhubi’alaihim waladhaallin. Berhenti. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membacanya dengan memotong ayat-demi-ayat, beliau berhenti setiap satu ayat. Namun jika tidak berhenti pun tidak mengapa. Karena membaca dengan memotong-motong ayat tersebut hanya anjuran, tidak diwajibkan” (Syarhul Mumthi, 3/65).
Orang Yang Tidak Bisa Membaca Al Fatihah
Orang yang tidak bisa membaca Al Fatihah karena baru masuk Islam atau karena belum pernah diajari, maka wajib diajari dan wajib baginya untuk belajar. Karena Al Fatihah merupakan rukun shalat. Adapun sementara ia belum bisa membacanya, maka bisa diganti dengan ayat Al Qur’an yang lain yang bisa ia baca. Sebagaimana hadits al musi-u shalatuhu, yaitu kepada orang yang jelek shalatnya karena belum tahu cara shalat, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا قمتَ إلى الصلاةِ فكَبِّرْ ، ثم اقرأْ ما تيسَّرَ معكَ من القرآنِ
“jika engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah apa yang engkau bisa dari ayat Al Qur’an..” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397)
Kemudian jika seseorang sama sekali belum bisa membaca Al Qur’an, maka cukup membaca tasbih, tahmid, tahlil dan hauqalah untuk menggantikan Al Fatihah. Hal ini berdasarkan hadits dari sahabat Ibnu Abi Aufa radhiallahu’anhu:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ فَعَلِّمْنِي شَيْئًا يُجْزِئُنِي مِنَ الْقُرْآنِ. فَقَالَ: ” قُلْ: سُبْحَانَ اللَّهُ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ “
“seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kemudian berkata: ‘saya tidak bisa membaca sedikitpun dari ayat Al Qur’an maka ajarkanlah saya sesuatu yang dapat mencukupinya’. Nabi bersabda: ‘katakanlah subhanallah, walhamdulillah, wa laailaha illallah, wallahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illa billah‘” (HR. Al Hakim 123, An Nasa-i 923, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, “wajib mengajarkan orang yang demikian surat Al Fatihah ini. Jika waktunya sempit, maka ia boleh membaca ayat apa saja selain Al Fatihah yang ia bisa dari Al Qur’an. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘bacalah apa yang engkau bisa dari ayat Al Qur’an‘. Jika ia tidak memungkinkan membaca Al Qur’an, maka ia boleh bertasbih dengan mengucapkan subhanallah, walhamdulillah, wa laailaha illallah, wallahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illa billah” (Syarhul Mumthi‘, 3/69-70).
Jika Imam Tidak Fasih Membaca Al Fatihah
Di beberapa masjid terutama di daerah pedesaan seringkali ditemukan imam masjid yang tidak fasih dalam membaca Al Qur’an. Tentu saja ini menjadi masalah karena Al Fatihah adalah rukun shalat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya terkait hal ini, “apakah orang yang bacaan Al Fatihahnya terdapat lahn (kesalahan) sah shalatnya ataukah tidak?”. Beliau menjawab: “jika lahn dalam membaca Al Fatihah itu tidak sampai mengubah makna maka sah shalatnya, baik ia imam atau munfarid. Semisal ia mengucapkan rabbil ‘alamin wadhallin atau semisalnya. Adapun bacaan semisal alhamdulillahi rabbul ‘alamin atau alhamdulillahi rabbal ‘alamin atau alhamdulullah dan alhamdilillah dengan lam di dhammah atau dal di-kasrah, atau juga ‘alaihim atau ‘alaihum atau semisal itu, ini semua tidak dianggap sebagai lahn. Adapun lahn yang mengubah makna, jika yang mengucapkan paham maknanya, semisal ia mengucapkan shiratalladzina an’amtu ‘alaihim dan ia paham bahwa dhamir di sini adalah mutakallim, maka tidak sah shalatnya. Jika ia tidak paham maknanya dan ia merasa bahwa dhamir-nya mukhathab maka ada khilaf mengenai keabsahan shalatnya. Wallahu a’lam”. (Al Fatawa Al Kubra, 2/185).
Al Lajnah Ad Daimah mengatakan: “jika anda ingin shalat, maka pilihlah imam yang bagus bacaannya. Jika anda tahu imam anda tidak bagus bacaannya, yaitu ia membacanya dengan lahn yang mengubah makna, semisal iyyaki na’budu dengan kaf di-kasrah atau an’amtu dengan ta ‘di dhammah atau di-kasrah, maka tidak boleh bermakmum padanya. Wajib bagi anda untuk memperingatkan dia, jika ia menerima alhamdulillah. Jika tidak, maka usahakan dengan sedemikian rupa agar ia diganti dengan imam yang lebih baik” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah no.3193).
Hukum Ta’min
Ta’min yang dimaksud di sini adalah pengucapan “amin” setelah membaca Al Fatihah. “Amin” artinya “ya Allah kabulkanlah”. “Amin” ada dua bentuk, qashr (dibaca pendek) dan mad (dibaca panjang). Ibnu Manzhur menjelaskan:
وآمينَ وأَمينَ: كلمةٌ تقال في إثْرِ الدُّعاء؛ قال الفارسي: هي جملةٌ مركَّبة من فعلٍ واسم، معناه اللهم اسْتَّجِبْ لي
aamiin (dibaca panjang) dan amiin (dibaca pendek) adalah kata yang diucapkan di ujung doa. Al Farisi berkata, ia adalah kalimat yang tersusun atas fi’il dan isim, artinya ‘ya Allah kabulkanlah untukku’ (Lisanul ‘Arab).
Tidak ada khilaf diantara para fuqaha bahwa dalam shalat sirriyyah membaca “amin” hukumnya sunnah, baik bagi munfarid, imam maupun makmum (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 16/184). Adapun dalam shalat jahriyah, ketika imam mengeraskan bacaan Al Fatihah, ulama khilaf mengenai hukum membaca “amin” :
Pendapat pertama, hukumnya sunnah bagi imam, makmum dan munfarid. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah, Hanabilah dan salah satu pendapat Hanafiyah, dan juga salah satu pendapat Imam Malik. Mereka berdalil bahwa hukum asal ucapan ‘amin’ adalah sunnah baik di dalam maupun di luar shalat pada tempat-tempat yang mengandung doa. Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنوا ، فإنه من وافقَ تأمينُه تأمينَ الملائكةِ ، غُفِرَ له ما تقدَّمَ من ذنبِه
“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang ucapan ‘amin’ nya sesuai dengan ucapan ‘amin’ Malaikat, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al Bukhari 780, 6402, Muslim 410)
dalam hadits ini ditetapkan bahwa imam mengucapkan ‘amin’ dan makmum diperintahkan mengucapkan ‘amin’ jika imam mengucapkannya.
Pendapat kedua, tidak dianjurkan bagi imam atau munfarid, yang dianjurkan adalah makmum. Ini adalah salah satu pendapat Imam Malik dan salah satu pendapat Hanafiyah. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا قَال الإمامُ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ، فَقُولُوا: آمِينَ، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْل الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ
“jika imam mengucapkan ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang ucapan ‘amin’ nya sesuai dengan ucapan ‘amin’ Malaikat, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu ” (HR. Al Bukhari 782, 4475)
dalam hadits ini yang diperintahkan untuk membaca ‘amin’ adalah makmum. Mereka juga beralasan bahwa dalam hal ini imam atau munfarid adalah orang yang mengucapkan berdoa, maka yang berdoa tidak perlu mengucapkan ‘amin’.
Pendapat ketiga, wajib hukumnya bagi imam, makmum dan munfarid. Ini adalah salah satu pendapat Imam Ahmad. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/112, Sifat Shalat Nabi lit Tharify 92-93).
Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yaitu pendapat pertama. Karena hadits,
إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنو
“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”
adalah dalil yang sharih (tegas) menyatakan bahwa imam dan makmum mengucapkan ‘amin’. Tidak mungkin hanya makmum saja. Dalam perspektif hadits ini, bagaimana mungkin makmum mengucapkan ‘amin’ jika imam tidak mengucapkannya? (Syarhul Mumthi, 3/67).
Hukum Mengeraskan Ta’min
Setelah mengetahui hukum ucapan ‘amin’, sekarang kita beralih pada masalah selanjutnya yaitu apakah bacaan ‘amin’ dikeraskan? Tidak ada khilaf diantara fuqaha bahwa ucapan ‘amin’ dibaca secara sirr (lirih) dalam shalat sirriyyah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/112). Namun mereka khilaf jika dalam shalat jahriyah:
Pendapat pertama: dianjurkan sirr (lirih). Ini adalah pendapat Malikiyyah dan Hanafiyah dan sebagian kecil Syafi’iyyah. Namun Malikiyyah hanya menganjurkan untuk makmum dan munfarid, sedangkan Hanafiyah menganjurkannya untuk makmum, munfarid dan imam. Alasan mereka adalah bahwa ucapan “amin” adalah doa, dan doa itu pada asalnya dibaca dengan sirr (lirih). Berdasarkan ayat:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
“berdoalah kepada Rabb-Mu dengan penuh rasa tunduk dan suara lirih” (QS. Al A’raf: 55)
Pendapat kedua: dianjurkan jahr (keras), baik untuk makmum, munfarid maupun imam. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu:
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إذا قَرأ وَلَا الضَّالِّينَ قال آمينَ ورَفع بها صوتَه
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika membaca ‘waladhallin‘, kemudian beliau mengucapkan ‘amin‘ dan mengangkat suaranya” (HR. Abu Daud 932, Ad Daruquthni 1/687, An Nasa-i 878, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud dan Sifat Shalat Nabi).
Pendapat ketiga: boleh sirr (lirih), boleh juga jahr (dikeraskan). Ini adalah pendapat Ibnu Bukair dan Ibnul ‘Arabi (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/113).
Jika kita kembalikan kepada dalil, maka dalil-dalil secara meyakinkan menunjukkan bahwa imam mengeraskan suaranya ketika mengucapkan “amin”. Sebagaimana hadits Wail bin Hujr radhiallahu’anhu, dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah imam. Selain itu juga hadits,
إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنو
“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”
Tidak mungkin makmum bisa melaksanakan perintah Nabi tersebut jika imam membaca ‘amin’ secara lirih dan tidak terdengar oleh makmum. Juga hadits Wa’il bin Hujr yang terdapat kalimat,
قال آمينَ ورَفع بها صوتَه
“beliau (Nabi) mengucapkan ‘amin‘ dan mengangkat suaranya”
Sedangkan dalil surat Al A’raf ayat 55 adalah dalil yang umum yang dikhususkan oleh hadits-hadits tersebut. Adapun untuk makmum, disinilah yang diperselisihkan. Oleh karena itu Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi mengatakan, “mengeraskan ‘amin’ untuk imam, haditsnya shahih tanpa keraguan. Adapun untuk makmum, tidak ada hadits yang sharih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (Sifat Shalat Nabi, 94). Yang ada adalah atsar dari sebagian sahabat Nabi, diantaranya Abdullah bin Zubair radhiallahu’anhu, Ibnu Juraij bertanya kepada ‘Atha:
أَكَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ يُؤَمِّنُ عَلَى إثْرِ أُمِّ الْقُرْآنِ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ وَرَاءَهُ، حَتَّى إنْ لِلْمَسْجِدِ لَلُجَّةً
“apakah Ibnu Zubair mengeraskan ucapan ‘amin’ setelah ummul Qur’an? Atha menjawab, iya dan para makmum mengucapkan amin juga. Sampai-sampai di masjid menjadi hingar-bingar” (HR. Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 2/294, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah ketika menjelaskan hadits no.952).
Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa beliau biasa mengeraskan ucapan ‘amin’ ketika menjadi makmum dan memanjangkan bacaannya (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 87). Dengan demikian, wallahu a’lam, yang rajih bahwa makmum juga disunnahkan mengeraskan bacaan amin. Ini dikuatkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
Sebagian ulama mengatakan, jika imam melirihkan bacaan ‘amin’ maka makmum tetap dianjurkan mengeraskan bacaan ‘amin’. Karena mengeraskan bacaan ‘amin’ adalah sunnah bagi imam dan makmum, anjuran itu tidak gugur hanya karena imam meninggalkannya, dan terkadang imam meninggalkannya karena lupa (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/113).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “untuk munfarid, jika ia mengeraskan bacaan Al Fatihah maka ia juga dianjurkan mengeraskan bacaan ‘amin’”. Beliau juga mengatakan, “dan terkadang jika munfarid menimbang bahwa membaca dengan sirr itu lebih utama dan lebih khusyu dan lebih jauh dari riya maka dalam kondisi ini ada penghalang bagi dia untuk mengeraskan suaranya. Karena orang sekitarnya sedang tidur atau semisalnya. Maka jika ia melirihkan bacaan Al Fatihah-nya ia juga hendaknya melirihkan bacaan ‘amin’, tidak dikeraskan” (Syarhul Mumthi‘, 3/67-68).
Kapan Mengucapkan “Amin”?
Untuk imam dan munfarid maka sudah jelas, mereka mengucapkan ‘amin’ setelah mengucapkan waladhallin. Namun untuk makmum, para ulama khilaf dalam masalah ini,
Pendapat pertama, ucapan “amin” makmum berbarengan dengan ucapan “amin” imam. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah dan pendapat mu’tamad Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits,
إذا قال أحدُكم آمين، قالتِ الملائكةُ في السماء آمين، فوافقت إحداهما الأخرى، غُفر له ما تقدم من ذنبه
“jika salah seorang diantara kalian mengucapkan ‘amin’, Malaikat pun mengucapkan ‘amin’. Maka jika ucapan ‘amin’ keduanya saling bersesuaian, maka orang tadi akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al Bukhari 780, 6402, Muslim 410).
Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, beliau mengatakan: “orang terdahulu ketika menjadi makmum mengucapkan ‘amin’ dengan jahr dan bersamaan dengan ucapan ‘amin’ imam. Serta tidak mendahului imam, tidak sebagaimana kebanyakan orang yang shalat di zaman sekarang. Juga tidak boleh terlalu telat dari ucapan amin imam. Inilah yang menjadi pendapatku yang terakhir dalam masalah ini” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 88).
Pendapat kedua, ucapan “amin” makmum setelah imam mengucapkan “amin”. Ini adalah salah satu pendapat dari Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits yang sama dengan lafadz lainnya,
إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنوا ، فإنه من وافقَ تأمينُه تأمينَ الملائكةِ ، غُفِرَ له ما تقدَّمَ من ذنبِه
“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang ucapan ‘amin’ nya sesuai dengan ucapan ‘amin’ Malaikat, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al Bukhari 780, 6402, Muslim 410)
dan semisalnya.
Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menjelaskan, “hadits ini dalil bahwa makmum mengakhirkan ucapan amin dari ucapan ‘amin’ imam. Karena adanya tartib (urutan) yang ditunjukan oleh huruf fa” (Sifat Shalat Nabi, 93). Selain itu juga pada asalnya makmum tidak boleh menyamai imam sebagaimana telah dijelaskan oleh An Nawawi rahimahullah.
Yang lebih tepat adalah pendapat pertama, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, “mereka (yang berpendapat setelah ucapan ‘amin’ imam) mengatakan, ini sebagaimana sabda Nabi فإذا كَبَّرَ فكَبِّرو ‘jika imam bertakbir maka bertakbirlah‘, dan sudah diketahui bahwa makmum bertakbir setelah imam selesai bertakbir. Maka demikian juga إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنو ‘jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin” maksudnya ucapan ‘amin’ makmum setelah imam selesai mengucapkan amin. Namun ini adalah argumen yang lemah. Karena telah ditegaskan dalam lafadz hadits yang lain:
إِذَا قَال الإمامُ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ، فَقُولُوا: آمِينَ
“jika imam mengucapkan ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”
demikian. Sehingga makna إذا أمَّنَ maksudnya adalah ‘jika imam sudah sampai pada waktunya untuk mengucapkan amin’, yaitu setelah mengucapkan waladhallin, atau maksudnya ‘jika telah tiba saat ketika ucapan amin disyariatkan’ maka ucapkanlah ‘amin’. Sehingga ucapan ‘amin’ bersamaan dengan imam (Syarhul Mumthi’, 3/69).
Ini adalah pengecualian dari larangan menyamai imam. Adapun jika makmum mengucapkan ‘amin’ lebih dahulu dari imam, maka kami tidak mengetahui para ulama berbeda pendapat mengenai terlarangnya perbuatan ini
Berdoa Sebelum Ta’min?
Syaikh Wahid Abdussalam Bali dalam ceramahnya yang berjudul “akhtha’una fis shalah” beliau mengatakan: “sebagian orang yang shalat, ketika sampai pada bacaan ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin sebelum mengucapkan amin, sang imam berdoa secara lirih ‘allhumaghfirlii wa liwalidayya …‘ dan seterusnya kemudian imam dan makmum baru mengucapkan ‘amin’, sehingga seolah-olah makmum mengaminkan doa tersebut. Ini adalah sebuah kesalahan. Yang benar hendaknya imam tidak mengucapkan apa-apa hingga mengucapkan ‘amin’, kemudian makmum mengucapkan ‘amin’”.
Perbuatan ini bertentangan dengan hadits
إِذَا قَال الإمامُ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ، فَقُولُوا: آمِينَ
“jika imam mengucapkan ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”
juga hadits
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إذا قَرأ وَلَا الضَّالِّينَ قال آمينَ ورَفع بها صوتَه
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika membaca ‘waladhallin‘, kemudian beliau mengucapkan ‘amin‘ dan mengangkat suaranya”
sehingga tidak disyariatkan membaca doa-doa diantara waladhallin dan ucapan ‘amin’. Lebih lagi, di dalam shalat banyak sekali tempat-tempat mustajab untuk berdoa yang disyariatkan semisal ketika rukuk, ketika sujud, ketika sebelum salam, dll, sehingga tidak perlu melakukannya di tempat-tempat yang tidak disyariatkan. Wallahu a’lam.
Demikian pembahasan ringkas mengenai bacaan Al Fatihah dalam shalat. Semoga bermanfaat. Wabillahi At Taufiq.
Referensi:
Syarhul Mumthi’ ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Majmu’ Fatawa War Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Sifat Shalat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Abdul Aziz Ath Tharify
Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah
Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, Syaikh Ibrahim Abu Syadi
—
1 Shalat yang bacaannya lirih, yaitu zhuhur dan ashar
2 Shalat yang bacaannya dikeraskan, yaitu shubuh, maghrib dan isya
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Telah dibahas pada tulisan sebelumnya, khilaf ulama mengenai hukum membaca Al Fatihah bagi makmum. Dan yang kami pandang rajih adalah yang dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu makmum wajib membacanya dalam shalat sirriyyah1 dan tidak wajib membaca Al Fatihah dalam shalat jahriyyah2 ketika imam membacanya. Namun bagi yang berpegang pada pendapat wajibnya membaca Al Fatihah pada shalat jahriyah secara mutlak, ada pertanyaan baru: kapan Al Fatihah dibaca?
Seorang makmum wajib mengikuti imam, tidak boleh mendahului atau menyamai imam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنما جُعِلَ الإمامُ لِيُؤْتَمَّ به، فإذا كَبَّرَ فكَبِّروا ، وإذا ركَعَ فاركعوا ، وإذا سجَدَ فاسجدوا ، وإن صلى قائمًا فصلوا قيامًا
“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti. Jika imam bertakbir maka bertakbirlah, jika ia ruku, maka rukuklah. jika ia sujud maka sujudlah jika ia shalat sambil berdiri maka shalatlah sambil berdiri” (HR. Al Bukhari 378, Muslim 411).
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “dan dalam hadits ini ada kewajiban bagi makmum untuk mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk rukuk, sujud. Dan itu dilakukan oleh makmum setelah imam melakukannya. Maka makmum ber-takbiratul ihram setelah imam selesai takbiratul ihram. Jika itu dilakukan sebelum imam selesai maka tidak benar shalatnya. Dan makmum rukuk setelah imam rukuk sempurna dan sebelum imam bangkit dari rukuk. Jika makmum menyamai imam, atau mendahuluinya, maka menjadi jelek shalatnya, namun tidak sampai batal” (Syarah Shahih Muslim, 4/132).
Dengan demikian, bagi yang berpendapat wajibnya makmum membaca Al Fatihah, hendaknya tidak membacanya bersamaan dengan bacaan imam atau malah mendahului imam. Dalam hal ini para ulama memberikan beberapa beberapa alternatif:
Jika ada saktah (jeda antara bacaan ayat) dalam bacaan Al Fatihah imam, maka ketika itu makmum membaca Al Fatihah. Misal, jika antara alhamdulillahirabbil ‘alamin dan ar rahmanirrahim ada saktah, maka ketika itu makmum membaca alhamdulillahirabbil ‘alamin.
Jika ada saktah dalam bacaan ayat Al Qur’an imam (setelah amin), maka ketika itu makmum membaca Al Fatihah. Alternatif pertama dan kedua ini afdhal, karena tetap mengamalkan dalil yang memerintahkan makmum mendengarkan bacaan imam.
Jika dua alternatif di atas tidak memungkinkan maka makmum boleh membaca Al Fatihah ketika imam sedang membaca ayat Al Qur’an (setelah amin).
Jika tiga alternatif di atas tidak memungkinkan juga maka makmum boleh membaca Al Fatihah bersamaan dengan imam.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “jika anda menjadi makmum, maka disyariatkan membacanya secara langsung setelah imam membaca Al Fatihah. Maka bacalah Al Fatihah walaupun ketika itu imam sedang membaca. Dan terkadang itu memang menimbulkan kesulitan karena anda membaca sementara imam juga membaca. Lebih lagi jika imam membacanya dengan menggunakan pengeras suara. Namun kami katakan, lalui saja dan bersabarlah, karena barangsiapa yang bersabar ia akan menang” (Majmu Fatawa War Rasail, 13/128).
Lalu bagaimana dengan makmum masbuq, yang mendapati imam sudah rukuk atau sudah akan rukuk? Apakah ia tetap membaca Al Fatihah? Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, “masbuq jika ia masuk ke dalam shalat ketika imam sudah rukuk, atau sebelum rukuk namun tidak memungkinkan lagi untuk membaca Al Fatihah, maka dalam keadaan ini kewajiban membaca Al Fatihah gugur darinya” (Majmu Fatawa War Rasail, 13/128).
Disambung atau dipotong?
Al Fatihah dianjurkan dibaca dengan berhenti setiap ayatnya, namun jika disambung juga tidak mengapa. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, “Al Fatihah dibaca secara mu’rab, berurutan, dan bersambung. Dan dianjurkan untuk memisahkan antara ayat, sehingga yang membaca akan berhenti 7 kali. Alhamdulillahirabbil ‘alaimin. Berhenti. Ar rahmanirrahim. Berhenti. Maliki yaumiddin. Berhenti. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Berhenti. Ihdinas shiratal mustaqim. Berhenti. Shiratalladzina an’amta ‘alaihim. Berhenti. Ghairil maghdhubi’alaihim waladhaallin. Berhenti. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membacanya dengan memotong ayat-demi-ayat, beliau berhenti setiap satu ayat. Namun jika tidak berhenti pun tidak mengapa. Karena membaca dengan memotong-motong ayat tersebut hanya anjuran, tidak diwajibkan” (Syarhul Mumthi, 3/65).
Orang Yang Tidak Bisa Membaca Al Fatihah
Orang yang tidak bisa membaca Al Fatihah karena baru masuk Islam atau karena belum pernah diajari, maka wajib diajari dan wajib baginya untuk belajar. Karena Al Fatihah merupakan rukun shalat. Adapun sementara ia belum bisa membacanya, maka bisa diganti dengan ayat Al Qur’an yang lain yang bisa ia baca. Sebagaimana hadits al musi-u shalatuhu, yaitu kepada orang yang jelek shalatnya karena belum tahu cara shalat, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا قمتَ إلى الصلاةِ فكَبِّرْ ، ثم اقرأْ ما تيسَّرَ معكَ من القرآنِ
“jika engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah apa yang engkau bisa dari ayat Al Qur’an..” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397)
Kemudian jika seseorang sama sekali belum bisa membaca Al Qur’an, maka cukup membaca tasbih, tahmid, tahlil dan hauqalah untuk menggantikan Al Fatihah. Hal ini berdasarkan hadits dari sahabat Ibnu Abi Aufa radhiallahu’anhu:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ فَعَلِّمْنِي شَيْئًا يُجْزِئُنِي مِنَ الْقُرْآنِ. فَقَالَ: ” قُلْ: سُبْحَانَ اللَّهُ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ “
“seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kemudian berkata: ‘saya tidak bisa membaca sedikitpun dari ayat Al Qur’an maka ajarkanlah saya sesuatu yang dapat mencukupinya’. Nabi bersabda: ‘katakanlah subhanallah, walhamdulillah, wa laailaha illallah, wallahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illa billah‘” (HR. Al Hakim 123, An Nasa-i 923, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, “wajib mengajarkan orang yang demikian surat Al Fatihah ini. Jika waktunya sempit, maka ia boleh membaca ayat apa saja selain Al Fatihah yang ia bisa dari Al Qur’an. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘bacalah apa yang engkau bisa dari ayat Al Qur’an‘. Jika ia tidak memungkinkan membaca Al Qur’an, maka ia boleh bertasbih dengan mengucapkan subhanallah, walhamdulillah, wa laailaha illallah, wallahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illa billah” (Syarhul Mumthi‘, 3/69-70).
Jika Imam Tidak Fasih Membaca Al Fatihah
Di beberapa masjid terutama di daerah pedesaan seringkali ditemukan imam masjid yang tidak fasih dalam membaca Al Qur’an. Tentu saja ini menjadi masalah karena Al Fatihah adalah rukun shalat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya terkait hal ini, “apakah orang yang bacaan Al Fatihahnya terdapat lahn (kesalahan) sah shalatnya ataukah tidak?”. Beliau menjawab: “jika lahn dalam membaca Al Fatihah itu tidak sampai mengubah makna maka sah shalatnya, baik ia imam atau munfarid. Semisal ia mengucapkan rabbil ‘alamin wadhallin atau semisalnya. Adapun bacaan semisal alhamdulillahi rabbul ‘alamin atau alhamdulillahi rabbal ‘alamin atau alhamdulullah dan alhamdilillah dengan lam di dhammah atau dal di-kasrah, atau juga ‘alaihim atau ‘alaihum atau semisal itu, ini semua tidak dianggap sebagai lahn. Adapun lahn yang mengubah makna, jika yang mengucapkan paham maknanya, semisal ia mengucapkan shiratalladzina an’amtu ‘alaihim dan ia paham bahwa dhamir di sini adalah mutakallim, maka tidak sah shalatnya. Jika ia tidak paham maknanya dan ia merasa bahwa dhamir-nya mukhathab maka ada khilaf mengenai keabsahan shalatnya. Wallahu a’lam”. (Al Fatawa Al Kubra, 2/185).
Al Lajnah Ad Daimah mengatakan: “jika anda ingin shalat, maka pilihlah imam yang bagus bacaannya. Jika anda tahu imam anda tidak bagus bacaannya, yaitu ia membacanya dengan lahn yang mengubah makna, semisal iyyaki na’budu dengan kaf di-kasrah atau an’amtu dengan ta ‘di dhammah atau di-kasrah, maka tidak boleh bermakmum padanya. Wajib bagi anda untuk memperingatkan dia, jika ia menerima alhamdulillah. Jika tidak, maka usahakan dengan sedemikian rupa agar ia diganti dengan imam yang lebih baik” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah no.3193).
Hukum Ta’min
Ta’min yang dimaksud di sini adalah pengucapan “amin” setelah membaca Al Fatihah. “Amin” artinya “ya Allah kabulkanlah”. “Amin” ada dua bentuk, qashr (dibaca pendek) dan mad (dibaca panjang). Ibnu Manzhur menjelaskan:
وآمينَ وأَمينَ: كلمةٌ تقال في إثْرِ الدُّعاء؛ قال الفارسي: هي جملةٌ مركَّبة من فعلٍ واسم، معناه اللهم اسْتَّجِبْ لي
aamiin (dibaca panjang) dan amiin (dibaca pendek) adalah kata yang diucapkan di ujung doa. Al Farisi berkata, ia adalah kalimat yang tersusun atas fi’il dan isim, artinya ‘ya Allah kabulkanlah untukku’ (Lisanul ‘Arab).
Tidak ada khilaf diantara para fuqaha bahwa dalam shalat sirriyyah membaca “amin” hukumnya sunnah, baik bagi munfarid, imam maupun makmum (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 16/184). Adapun dalam shalat jahriyah, ketika imam mengeraskan bacaan Al Fatihah, ulama khilaf mengenai hukum membaca “amin” :
Pendapat pertama, hukumnya sunnah bagi imam, makmum dan munfarid. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah, Hanabilah dan salah satu pendapat Hanafiyah, dan juga salah satu pendapat Imam Malik. Mereka berdalil bahwa hukum asal ucapan ‘amin’ adalah sunnah baik di dalam maupun di luar shalat pada tempat-tempat yang mengandung doa. Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنوا ، فإنه من وافقَ تأمينُه تأمينَ الملائكةِ ، غُفِرَ له ما تقدَّمَ من ذنبِه
“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang ucapan ‘amin’ nya sesuai dengan ucapan ‘amin’ Malaikat, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al Bukhari 780, 6402, Muslim 410)
dalam hadits ini ditetapkan bahwa imam mengucapkan ‘amin’ dan makmum diperintahkan mengucapkan ‘amin’ jika imam mengucapkannya.
Pendapat kedua, tidak dianjurkan bagi imam atau munfarid, yang dianjurkan adalah makmum. Ini adalah salah satu pendapat Imam Malik dan salah satu pendapat Hanafiyah. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا قَال الإمامُ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ، فَقُولُوا: آمِينَ، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْل الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ
“jika imam mengucapkan ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang ucapan ‘amin’ nya sesuai dengan ucapan ‘amin’ Malaikat, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu ” (HR. Al Bukhari 782, 4475)
dalam hadits ini yang diperintahkan untuk membaca ‘amin’ adalah makmum. Mereka juga beralasan bahwa dalam hal ini imam atau munfarid adalah orang yang mengucapkan berdoa, maka yang berdoa tidak perlu mengucapkan ‘amin’.
Pendapat ketiga, wajib hukumnya bagi imam, makmum dan munfarid. Ini adalah salah satu pendapat Imam Ahmad. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/112, Sifat Shalat Nabi lit Tharify 92-93).
Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yaitu pendapat pertama. Karena hadits,
إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنو
“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”
adalah dalil yang sharih (tegas) menyatakan bahwa imam dan makmum mengucapkan ‘amin’. Tidak mungkin hanya makmum saja. Dalam perspektif hadits ini, bagaimana mungkin makmum mengucapkan ‘amin’ jika imam tidak mengucapkannya? (Syarhul Mumthi, 3/67).
Hukum Mengeraskan Ta’min
Setelah mengetahui hukum ucapan ‘amin’, sekarang kita beralih pada masalah selanjutnya yaitu apakah bacaan ‘amin’ dikeraskan? Tidak ada khilaf diantara fuqaha bahwa ucapan ‘amin’ dibaca secara sirr (lirih) dalam shalat sirriyyah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/112). Namun mereka khilaf jika dalam shalat jahriyah:
Pendapat pertama: dianjurkan sirr (lirih). Ini adalah pendapat Malikiyyah dan Hanafiyah dan sebagian kecil Syafi’iyyah. Namun Malikiyyah hanya menganjurkan untuk makmum dan munfarid, sedangkan Hanafiyah menganjurkannya untuk makmum, munfarid dan imam. Alasan mereka adalah bahwa ucapan “amin” adalah doa, dan doa itu pada asalnya dibaca dengan sirr (lirih). Berdasarkan ayat:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
“berdoalah kepada Rabb-Mu dengan penuh rasa tunduk dan suara lirih” (QS. Al A’raf: 55)
Pendapat kedua: dianjurkan jahr (keras), baik untuk makmum, munfarid maupun imam. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu:
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إذا قَرأ وَلَا الضَّالِّينَ قال آمينَ ورَفع بها صوتَه
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika membaca ‘waladhallin‘, kemudian beliau mengucapkan ‘amin‘ dan mengangkat suaranya” (HR. Abu Daud 932, Ad Daruquthni 1/687, An Nasa-i 878, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud dan Sifat Shalat Nabi).
Pendapat ketiga: boleh sirr (lirih), boleh juga jahr (dikeraskan). Ini adalah pendapat Ibnu Bukair dan Ibnul ‘Arabi (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/113).
Jika kita kembalikan kepada dalil, maka dalil-dalil secara meyakinkan menunjukkan bahwa imam mengeraskan suaranya ketika mengucapkan “amin”. Sebagaimana hadits Wail bin Hujr radhiallahu’anhu, dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah imam. Selain itu juga hadits,
إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنو
“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”
Tidak mungkin makmum bisa melaksanakan perintah Nabi tersebut jika imam membaca ‘amin’ secara lirih dan tidak terdengar oleh makmum. Juga hadits Wa’il bin Hujr yang terdapat kalimat,
قال آمينَ ورَفع بها صوتَه
“beliau (Nabi) mengucapkan ‘amin‘ dan mengangkat suaranya”
Sedangkan dalil surat Al A’raf ayat 55 adalah dalil yang umum yang dikhususkan oleh hadits-hadits tersebut. Adapun untuk makmum, disinilah yang diperselisihkan. Oleh karena itu Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi mengatakan, “mengeraskan ‘amin’ untuk imam, haditsnya shahih tanpa keraguan. Adapun untuk makmum, tidak ada hadits yang sharih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (Sifat Shalat Nabi, 94). Yang ada adalah atsar dari sebagian sahabat Nabi, diantaranya Abdullah bin Zubair radhiallahu’anhu, Ibnu Juraij bertanya kepada ‘Atha:
أَكَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ يُؤَمِّنُ عَلَى إثْرِ أُمِّ الْقُرْآنِ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ وَرَاءَهُ، حَتَّى إنْ لِلْمَسْجِدِ لَلُجَّةً
“apakah Ibnu Zubair mengeraskan ucapan ‘amin’ setelah ummul Qur’an? Atha menjawab, iya dan para makmum mengucapkan amin juga. Sampai-sampai di masjid menjadi hingar-bingar” (HR. Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 2/294, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah ketika menjelaskan hadits no.952).
Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa beliau biasa mengeraskan ucapan ‘amin’ ketika menjadi makmum dan memanjangkan bacaannya (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 87). Dengan demikian, wallahu a’lam, yang rajih bahwa makmum juga disunnahkan mengeraskan bacaan amin. Ini dikuatkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
Sebagian ulama mengatakan, jika imam melirihkan bacaan ‘amin’ maka makmum tetap dianjurkan mengeraskan bacaan ‘amin’. Karena mengeraskan bacaan ‘amin’ adalah sunnah bagi imam dan makmum, anjuran itu tidak gugur hanya karena imam meninggalkannya, dan terkadang imam meninggalkannya karena lupa (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/113).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “untuk munfarid, jika ia mengeraskan bacaan Al Fatihah maka ia juga dianjurkan mengeraskan bacaan ‘amin’”. Beliau juga mengatakan, “dan terkadang jika munfarid menimbang bahwa membaca dengan sirr itu lebih utama dan lebih khusyu dan lebih jauh dari riya maka dalam kondisi ini ada penghalang bagi dia untuk mengeraskan suaranya. Karena orang sekitarnya sedang tidur atau semisalnya. Maka jika ia melirihkan bacaan Al Fatihah-nya ia juga hendaknya melirihkan bacaan ‘amin’, tidak dikeraskan” (Syarhul Mumthi‘, 3/67-68).
Kapan Mengucapkan “Amin”?
Untuk imam dan munfarid maka sudah jelas, mereka mengucapkan ‘amin’ setelah mengucapkan waladhallin. Namun untuk makmum, para ulama khilaf dalam masalah ini,
Pendapat pertama, ucapan “amin” makmum berbarengan dengan ucapan “amin” imam. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah dan pendapat mu’tamad Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits,
إذا قال أحدُكم آمين، قالتِ الملائكةُ في السماء آمين، فوافقت إحداهما الأخرى، غُفر له ما تقدم من ذنبه
“jika salah seorang diantara kalian mengucapkan ‘amin’, Malaikat pun mengucapkan ‘amin’. Maka jika ucapan ‘amin’ keduanya saling bersesuaian, maka orang tadi akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al Bukhari 780, 6402, Muslim 410).
Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, beliau mengatakan: “orang terdahulu ketika menjadi makmum mengucapkan ‘amin’ dengan jahr dan bersamaan dengan ucapan ‘amin’ imam. Serta tidak mendahului imam, tidak sebagaimana kebanyakan orang yang shalat di zaman sekarang. Juga tidak boleh terlalu telat dari ucapan amin imam. Inilah yang menjadi pendapatku yang terakhir dalam masalah ini” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 88).
Pendapat kedua, ucapan “amin” makmum setelah imam mengucapkan “amin”. Ini adalah salah satu pendapat dari Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits yang sama dengan lafadz lainnya,
إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنوا ، فإنه من وافقَ تأمينُه تأمينَ الملائكةِ ، غُفِرَ له ما تقدَّمَ من ذنبِه
“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang ucapan ‘amin’ nya sesuai dengan ucapan ‘amin’ Malaikat, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al Bukhari 780, 6402, Muslim 410)
dan semisalnya.
Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menjelaskan, “hadits ini dalil bahwa makmum mengakhirkan ucapan amin dari ucapan ‘amin’ imam. Karena adanya tartib (urutan) yang ditunjukan oleh huruf fa” (Sifat Shalat Nabi, 93). Selain itu juga pada asalnya makmum tidak boleh menyamai imam sebagaimana telah dijelaskan oleh An Nawawi rahimahullah.
Yang lebih tepat adalah pendapat pertama, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, “mereka (yang berpendapat setelah ucapan ‘amin’ imam) mengatakan, ini sebagaimana sabda Nabi فإذا كَبَّرَ فكَبِّرو ‘jika imam bertakbir maka bertakbirlah‘, dan sudah diketahui bahwa makmum bertakbir setelah imam selesai bertakbir. Maka demikian juga إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنو ‘jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin” maksudnya ucapan ‘amin’ makmum setelah imam selesai mengucapkan amin. Namun ini adalah argumen yang lemah. Karena telah ditegaskan dalam lafadz hadits yang lain:
إِذَا قَال الإمامُ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ، فَقُولُوا: آمِينَ
“jika imam mengucapkan ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”
demikian. Sehingga makna إذا أمَّنَ maksudnya adalah ‘jika imam sudah sampai pada waktunya untuk mengucapkan amin’, yaitu setelah mengucapkan waladhallin, atau maksudnya ‘jika telah tiba saat ketika ucapan amin disyariatkan’ maka ucapkanlah ‘amin’. Sehingga ucapan ‘amin’ bersamaan dengan imam (Syarhul Mumthi’, 3/69).
Ini adalah pengecualian dari larangan menyamai imam. Adapun jika makmum mengucapkan ‘amin’ lebih dahulu dari imam, maka kami tidak mengetahui para ulama berbeda pendapat mengenai terlarangnya perbuatan ini
Berdoa Sebelum Ta’min?
Syaikh Wahid Abdussalam Bali dalam ceramahnya yang berjudul “akhtha’una fis shalah” beliau mengatakan: “sebagian orang yang shalat, ketika sampai pada bacaan ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin sebelum mengucapkan amin, sang imam berdoa secara lirih ‘allhumaghfirlii wa liwalidayya …‘ dan seterusnya kemudian imam dan makmum baru mengucapkan ‘amin’, sehingga seolah-olah makmum mengaminkan doa tersebut. Ini adalah sebuah kesalahan. Yang benar hendaknya imam tidak mengucapkan apa-apa hingga mengucapkan ‘amin’, kemudian makmum mengucapkan ‘amin’”.
Perbuatan ini bertentangan dengan hadits
إِذَا قَال الإمامُ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ، فَقُولُوا: آمِينَ
“jika imam mengucapkan ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”
juga hadits
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إذا قَرأ وَلَا الضَّالِّينَ قال آمينَ ورَفع بها صوتَه
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika membaca ‘waladhallin‘, kemudian beliau mengucapkan ‘amin‘ dan mengangkat suaranya”
sehingga tidak disyariatkan membaca doa-doa diantara waladhallin dan ucapan ‘amin’. Lebih lagi, di dalam shalat banyak sekali tempat-tempat mustajab untuk berdoa yang disyariatkan semisal ketika rukuk, ketika sujud, ketika sebelum salam, dll, sehingga tidak perlu melakukannya di tempat-tempat yang tidak disyariatkan. Wallahu a’lam.
Demikian pembahasan ringkas mengenai bacaan Al Fatihah dalam shalat. Semoga bermanfaat. Wabillahi At Taufiq.
Referensi:
Syarhul Mumthi’ ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Majmu’ Fatawa War Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Sifat Shalat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Abdul Aziz Ath Tharify
Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah
Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, Syaikh Ibrahim Abu Syadi
—
1 Shalat yang bacaannya lirih, yaitu zhuhur dan ashar
2 Shalat yang bacaannya dikeraskan, yaitu shubuh, maghrib dan isya
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id