Sebelas Tahun di Pembuangan.
Pada saat ketiganya diasingkan perlawanan rakyat Aceh menentang penjajahan Belanda semakin bergolak. Ini ditandai dengan berbaliknya Teuku Umar menyerang Belanda pada tahun 1896. Pemerintah Belanda menerapkan strategi baru dalam menumpas perlawanan rakyat Aceh sampai ke akar akarnya. Pemerintah Kompeni Belanda mengambil kebijakan mempergunakan para tawanan yang dianggap mumpuni untuk menghadapi perlawanan rakyat Aceh yang terkenal militan. Guru Alim, Guru Kalimin dan Mamiq Ormat kemudian dikirim ke Aceh bersama para tawanan lainnya. Di Aceh, mereka dihadapkan dengan pasukan Aceh yang diketahui sesama Muslim. Berdasarkan kesepakatan, ketiganya membatasi diri hanya ikut ke garis depan, dan tidak ikut melakukan penyerangan, tapi hanya menghindar. Berbagai upaya mereka lakukan untuk menghindari kontak langsung dengan pasukan Aceh. Guru Alim sendiri, karena usianya yang paling tua diantara ketiganya, lebih banyak menyamar menjdi tukang pijit pasukan Belanda. Sedangkan Mamiq Ormat, karena usianya paling muda, lebih banyak dipengaruhi oleh darah mudanya. Konon setelah mengetahui bahwa lawannya adalah sesama Muslim, Mamiq ormat ikut bersama pejuang Aceh berbalik menyerang pasukan Belanda. Beliau akhirnya tewas tertembak pasukan Belanda dan dikuburkan di Aceh. Beliau dikenang dengan sebutan Pemban Ilang Aceh. Sepeninggal Mamiq Ormat, Guru Alim dan Guru Kalimah mengikrarkan diri sebagai saudara dunia-akhirat serta menyatakan kesediaannya untuk hidup mati bersama-sama.
Setelah menghabiskan tujuh tahun (1896-1903) di belantara Aceh bersama Pasukan Belanda, Guru Alim bersama Guru Alkalimin dipindahkan mengikuti pasukan Belanda ke Madura, di lokasi kerja paksa pembuatan tambak garam selama 4 tahun (1903 – 1907) Baru pada tahun 1907 keduanya dikembalikan ke Batavia dan pada tahun yang sama dipulangkan ke Lombok setelah Guru Alim berhasil membunuh lipan raksasa disebuah gua di pegunungan Jawa Barat.
Selama sebelas tahun Guru Alim dan Guru Kalimin dalam pengasingan, di wilayah Jerowaru terjadi berbagai perubahan. Wilayah desa Jerowaru semakin menyempit, Perbatasan dengan distrik Sakra di sebelah utara yang semula sampai perbatasan Montong Galeng dan Montong Tengari bergeser ke selatan hanya sampai Mendana. Hal tersebut disebabkan karena Kepala Desa Jerowaru menjual sebagian wilayah tersebut kepada distrik Sakra. Selain itu tanah pusaka Guru Alim yang membentang dari Jerowaru sampai Rereq diambil alih dan dikuasai oleh Kepala Desa Jerowaru, hal mana tak dapat dilakukan semasih Guru Alim berada di Jerowaru.
Selama keduanya dalam pengasingan, pihak keluarga telah beranggapan bahwa keduanya sudah tewas karena selama itu tak pernah ada kabar berita. Sementara itu Penendem sendiri telah berubah drastis. Kehadiran TGH. Ali Akbar telah menjadikan Penendem sebagai pusat ilmu di wilayah Jerowaru dan sekitarnya. Masyarakat dari berbagai penjuru Lombok seperti Praya, Darmaji, Langko, dan wilayah sekitar Jerowaru datang berguru kepada beliau.
Berdasarkan pengalaman semasih diasingkan di Madura, Guru Alim dan Guru Alkalimin memprakarsai pembuatan tambak garam pertama di pantai selatan. Pembuatan tambak Garam tersebut mendapat dukungan penuh dari TGH. Ali Akbar. Ketiganya tercatat sebagai pemilik pertama tambak garam yang sampai sekarang terkenal dengan nama Parak Penendem. Pada Klasir tahun 1942, Amaq Sitirah sebagai ahli waris Guru Alim menyerahkan sepenuhnya kepemilikan tambak tersebut kepada TGH. Mutawalli selaku ahli waris Guru Alkalimin.
Pada saat ketiganya diasingkan perlawanan rakyat Aceh menentang penjajahan Belanda semakin bergolak. Ini ditandai dengan berbaliknya Teuku Umar menyerang Belanda pada tahun 1896. Pemerintah Belanda menerapkan strategi baru dalam menumpas perlawanan rakyat Aceh sampai ke akar akarnya. Pemerintah Kompeni Belanda mengambil kebijakan mempergunakan para tawanan yang dianggap mumpuni untuk menghadapi perlawanan rakyat Aceh yang terkenal militan. Guru Alim, Guru Kalimin dan Mamiq Ormat kemudian dikirim ke Aceh bersama para tawanan lainnya. Di Aceh, mereka dihadapkan dengan pasukan Aceh yang diketahui sesama Muslim. Berdasarkan kesepakatan, ketiganya membatasi diri hanya ikut ke garis depan, dan tidak ikut melakukan penyerangan, tapi hanya menghindar. Berbagai upaya mereka lakukan untuk menghindari kontak langsung dengan pasukan Aceh. Guru Alim sendiri, karena usianya yang paling tua diantara ketiganya, lebih banyak menyamar menjdi tukang pijit pasukan Belanda. Sedangkan Mamiq Ormat, karena usianya paling muda, lebih banyak dipengaruhi oleh darah mudanya. Konon setelah mengetahui bahwa lawannya adalah sesama Muslim, Mamiq ormat ikut bersama pejuang Aceh berbalik menyerang pasukan Belanda. Beliau akhirnya tewas tertembak pasukan Belanda dan dikuburkan di Aceh. Beliau dikenang dengan sebutan Pemban Ilang Aceh. Sepeninggal Mamiq Ormat, Guru Alim dan Guru Kalimah mengikrarkan diri sebagai saudara dunia-akhirat serta menyatakan kesediaannya untuk hidup mati bersama-sama.
Setelah menghabiskan tujuh tahun (1896-1903) di belantara Aceh bersama Pasukan Belanda, Guru Alim bersama Guru Alkalimin dipindahkan mengikuti pasukan Belanda ke Madura, di lokasi kerja paksa pembuatan tambak garam selama 4 tahun (1903 – 1907) Baru pada tahun 1907 keduanya dikembalikan ke Batavia dan pada tahun yang sama dipulangkan ke Lombok setelah Guru Alim berhasil membunuh lipan raksasa disebuah gua di pegunungan Jawa Barat.
Selama sebelas tahun Guru Alim dan Guru Kalimin dalam pengasingan, di wilayah Jerowaru terjadi berbagai perubahan. Wilayah desa Jerowaru semakin menyempit, Perbatasan dengan distrik Sakra di sebelah utara yang semula sampai perbatasan Montong Galeng dan Montong Tengari bergeser ke selatan hanya sampai Mendana. Hal tersebut disebabkan karena Kepala Desa Jerowaru menjual sebagian wilayah tersebut kepada distrik Sakra. Selain itu tanah pusaka Guru Alim yang membentang dari Jerowaru sampai Rereq diambil alih dan dikuasai oleh Kepala Desa Jerowaru, hal mana tak dapat dilakukan semasih Guru Alim berada di Jerowaru.
Selama keduanya dalam pengasingan, pihak keluarga telah beranggapan bahwa keduanya sudah tewas karena selama itu tak pernah ada kabar berita. Sementara itu Penendem sendiri telah berubah drastis. Kehadiran TGH. Ali Akbar telah menjadikan Penendem sebagai pusat ilmu di wilayah Jerowaru dan sekitarnya. Masyarakat dari berbagai penjuru Lombok seperti Praya, Darmaji, Langko, dan wilayah sekitar Jerowaru datang berguru kepada beliau.
Berdasarkan pengalaman semasih diasingkan di Madura, Guru Alim dan Guru Alkalimin memprakarsai pembuatan tambak garam pertama di pantai selatan. Pembuatan tambak Garam tersebut mendapat dukungan penuh dari TGH. Ali Akbar. Ketiganya tercatat sebagai pemilik pertama tambak garam yang sampai sekarang terkenal dengan nama Parak Penendem. Pada Klasir tahun 1942, Amaq Sitirah sebagai ahli waris Guru Alim menyerahkan sepenuhnya kepemilikan tambak tersebut kepada TGH. Mutawalli selaku ahli waris Guru Alkalimin.
No comments:
Post a Comment